Untuk
kesekian kalinya, lagu berjudul “Waktu” karya Bondan Prakoso itu terdengar khas
tepat di sebelah kamar kos ku. Entah apa yang membuat yudi, begitu panggilan
pemilik kamar sebelah sangat menyukai lagu itu. Jam di kamar menunjukkan 06.30
pagi, itu artinya aku harus segera bersiap sebelum ketinggalan bus kota yang
akan mengantarku sampai ke gerbang kampus. Namaku Sutisna, kawan-kawan di
kampus memanggilku Tisna. Aku kuliah pada salah satu perguruan tinggi di ibukota
Negara dan memilih untuk mengabdi di jurusan bahasa dan sastra. Eits, jangan
tanyakan kenapa ku kuliah di jurusan ini.
Di kampus,
aku termasuk mahasiswa yang paling sering mendapatkan beasiswa prestasi. Begitu
juga Yudi, rekan sebelah kamarku yang juga sering mendapatkan hal yang serupa.
Kami berdua berasal dari satu daerah yang sama, provinsi di ujung Sumatera.
Meski dulu tidak pernah saling kenal namun test SPMB sebelum masuk kesini telah
merubah segalanya. Aku jadi begitu dekat dengannya. Satu hal yang tak pernah ku
ketahui tentang Yudi selama ini adalah tentang keluarganya. Dia sangat tertutup
dengan semua ini. Bahkan dia mengancam jika aku memaksanya “kau boleh tau apa
saja tentangku, tapi tidak untuk ini kawan… jelas!!!” gertaknya.
Di kampus,
orang tak banyak yang mengenal Yudi. Maklum saja, saat saat di kampus lebih
banyak dihabiskannya di pustaka ketimbang nongkrong di kantin seperti
kebiasaanku selama ini. Sifat tertutup yudi ini membuat aku dan kawan kawan
satu angkatan heran dan tak jarang kebanyakan dari mereka menanyakan kepadaku
perihal Yudi karena mereka rata-rata tahu kalau aku dan Yudi berada dalam
kompleks kos yang sama.
“eh ntis, ada apa dengan kawanmu itu?” celoteh Eka pada ku suatu ketika. “aku
juga tidak tahu” jawabku singkat.
—
Kegiatan
sepulang kuliah, langkah ini lebih terbiasa singgah di warnet dekat kampus.
Banyak hal yang biasa ku lakukan disini, ya salah satunya berekspresi suka suka
lewat jejaring sosial seperti facebook.
“sore kak” sapa sok akrab ku pada penjaga warung dunia maya itu. “Sore juga ntis”
balasnya singkat seakan tak peduli dengan kehadiranku. Wajar, pekerjaan seperti
yang dilakoninya itu memang butuh konsentrasi yang cukup dan terkadang juga
sangat membosankan hingga membuat keramahannya pada konsumen berkurang apa lagi
sudah jam segini, pikirku dalam hati.
Sekilas
warnet ini memang agak sederhana daripada yang lain di luar sana, dengan
mengandalkan 11 unit PC dan beberapa kipas angin gantung menambah analogi orang
orang yang mungkin baru masuk merasa tidak nyaman. Lain halnya bagiku yang
memfavoritkan tempat ini sebagai kampus kedua, maklum sedikit menghemat biaya. Jauh
disudut ruangan yang terpisah dengan bagian komntiser lain, disitu tempat ku,
maksudnya aku suka internetan lewat comntiser itu. Selain dekat dengan kipas
angin, lokasi ini juga membuat ku merasa lebih bebas, jangan berfikir
macam-macam dulu. Bebas disini dalam artian tidak ada yang lalu lalang. Jadi
lebih nyaman untuk bersantai.
Selain
berfacebook ria, aku juga punya kegiatan lain di dunia maya. Ya, salah satunya
membuka web web yang ada hubungannya dengan cerita kehidupan. Sampai tiba-tiba
mata ini tertarik untuk membuka sebuah judul cerita yang diberi label kau bukan
ayahku.
Aku semakin penasaran, sedikit demi sedikit kubaca dan kudalami cerita
itu. Sadis… kata pertama yang kulontarkan meski cerita tersebut belum habis
terbaca. Cerita yang berlatar belakang sebuah keluarga kaya yang hidupnya
sengsara. Seorang anak, tokoh dalam cerita yang ternyata durhaka dan membunuh
ayahnya sendiri. Bermula ketika dia (sang anak) mendapati ayahnya sedang
mabuk-mabukan bersama beberapa wanita di dalam rumah, sementara di lain sisi
ibunya sedang berada di luar negeri untuk bekerja sebagai TKI. Hidup dengan
biaya kerja keras dari ibu menjadi tolak ukurnya sehingga dia mengambil jalan
pintas untuk membunuh sang ayah. Begitu kira kira ringkasan cerita yang ku
simpulkan.
Yang menarik
dan membuatku semakin penasaran adalah kata kata terakhir dari sang penulis
yang mengatakan bahwa ini kisah nyata yang dia alami sendiri dan dialah sang
anak tersebut. Aku membunuh dan aku durhaka, tapi ini semua untuk ibuku begitu
tulisan tambahan kata kata tersebut. Kisah tersebut membuat ku terkesima dan
seakan menghipnotis anganku hingga hari ini, tanggal 17 maret 2007, 6 bulan
setelah hari saat ku menemukan dan membaca cerita tersebut. Bayangkan, rentang
6 bulan ini hidupku seperti seorang detektif yang tak punya tuannya, ya waktu
ku lebih banyak kuhabiskan untuk mencari tahu siapakah penulis kisah yang
katanya nyata tersebut.
Dari bantuan mbah google sampai bertatap muka langsung
dengan pemilik situs tempat cerita itu dimuat. Banyak sih informasi yang
kudapat namun sang objek yang dicari belum juga terdeteksi sosoknya.
Suatu
ketika…
“ntis” terdengar seperti ada yang memanggil ku diluar. “eh kamu yud, ada apa?
tumben belum tidur jam segini?.” “hmm…” jawabnya singkat lalu masuk dan tanpa
basa basi langsung duduk di lantai. “ntis…!?” “iya” jawabku sembrono seakan tak
peduli dengan kehadiran Yudi.
“hmm… kita keluar yuk!” “hah… gak salah denger apa? uda jam berapa ini?” “ahh…
bosan sekali aku” jawab Yudi. Sepintas raut wajahnya terlihat sangat muram.
“ada apa ya?” tanyaku dalam hati sembari memakai jaket dan mengiyakan
kemauannya itu.
Kami
berjalan kaki menyusuri jalan setapak, jam di tangan menunjukkan 01.46 wib,
hening sekali. Sampai kami berhenti di suatu tempat, di atas jembatan layang,
Yudi membuka suaranya.
“mungkin kedepan kita tidak akan bersama lagi seperti ini ntis” kalimat pertama
yang keluar dari mulutnya. “hah, maksud kamu apa sob?.” Tanpa menggubris
pertanyaanku dia terus melanjutkan pembicaraannya. “aku tahu, sejak pertama
kita kenal kamu selalu penasaran dengan tingkah dan ulah aku ini. Bukan aku sok
misterius, bukan aku tak menganggap kamu ada, bukan… asal kamu tau ya ntis, ini
semua semu, ini semua bukan aku yang sebenarnya” dia terus melanjutkan
pembicaraannya sementara aku hanya tercengang bagai si bocah yang sedang
mendengarkan dongeng ibunya. “maafkan aku kalo emang kamu anggap aku seperti
itu” “Ta…tapi Yud” ku coba memotong. “sudah, aku tahu kok ntis, aku mengenalmu ntis.
Yang jelas malam ini aku ingin kamu tahu semuanya, semua tentang aku karena
sangat erat kaitannya dengan rasa penasaranmu selama ini” “maksud mu???” “sudah
lupa ya sama kisah yang kamu ceritakan padaku itu?” “eum… iya nggak lah, trus
hubungannya apa?” aku balik bertanya. “ini untukmu” perintah Yudi sambil
menyerahkan sepucuk surat kepadaku. “bukalah surat ini suatu saat nanti”
pesannya. “aneh kamu Yud” sembari menyimpan surat itu. Namun belum sempat semua
itu kulakukan, aku telah dikejutkan oleh Yudi yang secepat kilat berlari dan
melompat dari jembatan. Aku panik, dan berniat minta tolong. Tapi sayang, Yudi
telah jauh terseret arus dan tak mungkin terselamatkan lagi
beberapa
bulan kemudian…
ASSALAMU’ALAIKUM…
Sahabatku, tisna…
Saat kau baca surat ini mungkin jasadku telah tiada, aku telah berada jauh
disana ditemani malaikat-malaikat surga.
Sobat, masih ingat dengan kisah yang pernah kau ceritakan itu? Jawab saja
masih, karena aku yakin kau takkan pernah melupakannya.
Itu kisah aku sob, kisah keluargaku, kisah pengkhianatan seorang anak yang tega
menghabisi nyawa ayahnya. Sedangkan penulis itu, kau tahu? Penulis itulah sang
pembunuh dan dia itu adik kandungku sendiri. Dia pun kini telah tiada, jangan
pernah kau carikan lagi. Karena nyawanya ditakdirkan berakhir di tangan seorang
saudaranya juga, aku yang membunuhnya. Mungkin kau akan sedikit terkejut bukan?
Wajar sob… Ibuku, wanita terhebat di dunia… pahlawanku, pahlawan keluargaku dan
juga pahlawan Negara ini juga berakhir dengan sadis sob, dia dihukum gantung di
negeri padang gersang karena sesuatu yang aku sendiri juga tidak tahu.
Aku depresi sob, tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk hidup ini.
Sampaikan salam dan permintaan maaf ku untuk semua, terutama untuk mu… tisna.
Sahabatmu, Yudi
Aku
termenung kaku dan tak tahu harus berbuat apa, surat yang baru saja kubaca
seakan menghilangkan segalanya, termasuk aku dan kisah kisah ini.
0 komentar:
Posting Komentar