pada saat itu Aku sedang duduk santai di teras rumah setelah menyelesaikan tugas
bersih-bersih rumah yang diberikan orangtuaku sebelum pergi ke rumah
Paman Dono. Bibi Mia datang sambil membawa secangkir kopi panas dan
meletakkannya di sampingku.
“Ini, Non, kopinya,” kata Bibi Mia.
Aku terheran-heran. Sejak kapan aku suka ngopi dan kapan aku memesannya?
Belum sempat protes, seorang tukang pos berhenti di depan pagar
rumahku. Memencet bel dan memaksaku bangun dan menghampirinya. Saat aku
sampai di sana, tukang pos itu menghilang tanpa jejak. Aku kembali
terheran-heran. Aku mengamati sekelilingku tapi aku tak menemukan
apapun.
Dengan kesal, kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah. Dan kudapati sepiring nasi goreng di atas meja di teras.
“Tampaknya Bibi Mia sedang hank.” Kataku lalu masuk ke dalam, menuju
lantai 2 tempat kamarku berada. Kubuka pintu kamar namun ada sesuatu
yang aneh, pintunya terkunci! Lagi-lagi aku terheran-heran. Jelas-jelas
tadi pagi pintu kubiarkan terbuka. Lalu aku pergi ke dapur untuk
mengambil kunci serep. Aku mencium bau darah segar dan sedikit amis saat
masuk ke dapur. Aku mengira Bibi Mia barusan memotong ikan atau daging
dan lupa membersihkan sisa-sisanya. Ya… aku tak memikirkan soal itu
lagi. Kuambil kunci serep kamar yang tergantung di dinding di samping
kulkas.
Saat aku berjalan menaiki tangga, kudengar jeritan seseorang dari
arah kamarku. Sontak aku berlarian ke sana. Cepat-cepat kumasukkan kunci
ke lubang pintu namun pintu kamar tidak kunjung terbuka.
“Astaga! Aku salah mengambil kunci!”
Kini terdengar seseorang mengedor-ngedor pintu itu dengan keras.
“Non… non… bangun, Non! Sudah jam setengah tujuh. Nanti Non terlambat!”
WAAAA… aku terperanjat bangun lalu berlarian membuka pintu kamar.
“Bik, hari ini aku libur!!”
-00-
Aku begitu jelas melihat sang surya tenggelam dari jendela di lantai 3
rumahku. Aku lihat sekelompok burung berterbangan ke sana kemari. Kini
langit sudah sangat gelap, tetapi mataku masih jelas menangkap sebuah
bayangan yang tengah memencet bel rumahku. Kulihat Bik Mia membuka pintu
pagar lalu berbincang-bincang dengan orang itu. Lalu ia menerima sebuah
bingkisan berukuran mirip novel. Kemudian ia masuk ke dalam rumah.
Aku memutuskan turun ke bawah di samping perutku yang sudah
keroncongan, aku juga ingin menanyakan siapa gerangan yang Bik Nur
hampiri di depan tadi.
“Non Dhera belum tidur?” tanya Bik Mia yang mengejutkanku. Aku lihat wajahnya begitu pucat, rambutnya terurai dan sedikit basah.
“Ini sudah jam setengah dua belas malam, Non.” Sambungnya.
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Barusan aku menyaksikan matahari
terbenam, bagaimana bisa Bik Nur mengatakan ini sudah tengah malam?
Kuacuhkan omongannya lalu aku menuju dapur. Rasa lapar ini semakin
menjadi-jadi. Kubuka tudung saji, kudapati hidangan yang sepertinya baru
dimasak. Lekas kuambil piring, meletakkan satu setengah sendok nasi di
atasnya. Kuambil beberapa lauk yang ada. Lalu dengan serta-merta
kumenyantapnya. Tibalah suapan terakhir dan.. teng.. tong.. teng.. tong.
Jam dinding berbunyi. Mataku terbelalak saat kulihat jam itu
menunjukkan pukul duabelas tengah malam.
Bulu kudukku merinding.
Aku tersadar di sebuah ruangan putih-putih oleh tetesan air yang
ternyata kran yang belum aku tutup sempurna selesai aku mandi tadi.
Tubuhku begitu dingin karena aku tertidur di dalam bak mandi yang berisi
air. Kuraih handuk yang tergantung di samping cermin lalu aku keluar
dari tempat itu. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur yang empuk
dihadapanku.
“Aku bermimpi lagi. Araggghh!”
“Semakin hari semakin menyeramkan!” gumamku kesal.
“Bik Nur… kau mendengarku? Tolong bawakan aku secangkir coklat hangat
dan beberapa lembar roti ta…” belum genap pintaku, ia sudah nongol di
depanku. Aku terperanjak.
“Sarapan tiba..” katanya dengan semangat sambil tersenyum.
“Aaah.. iya, Bik, terima kasih.”
“Oh, ya, Non, saya hampir lupa..” ia mengeluarkan sebuah bingkisan lalu
memberikannya padaku. “Ini titipan dari teman Non Dhera.”
Segera saja kubuka bingkisan itu. Isinya sebuah buku mirip novel
bersampul merah tanpa judul, nama penulis, nama penerbit, tahun terbit,
dll. Saat kubuka halaman pertama, aku sudah disuguhkan dengan tulisan
yang tidak dapat kubaca. Halaman demi halaman kubuka, sama saja. Namun
aneh, beberapa halaman di akhir buku itu masih kosong. Saat
kuperhatikan, ada bercak-bercak merah di halaman kosong itu. Mungkin
bekas tinta, pikirku. Lalu kuletakkan buku itu di atas meja belajarku.
Kini aku berbaring di atas kasur empuk saat semua hal aneh itu
menggerayangi otakku. Sial! Harusnya liburanku ini mengesankan bukannya
mencekam seperti ini. Mataku mencari-cari sesuatu di meja belajar.
Sesuatu yang baru kusadari telah hilang dari tempatnya dan hanya
meninggalkan sebercak darah segar di sana. Kutarik nafasku perlahan lalu
kucubit lenganku. Sakit! Artinya ini bukan mimpi. Aku terperanjak dari
tempat tidurku, melompat ke sudut kamar, dan mengigil di sana. Peluh
dingin mengucur dan membasahi tubuhku. Kulihat sosok yang sama seperti
di depan rumah itu sedang duduk membelakangiku di meja belajar. Tangan
kirinya memegang sebuah pena. Ia sedang menulis di atas sesuatu. Astaga!
Di atas halaman kosong buku yang kucari-cari tadi.
“Kaukah novelis yang meninggal misterius itu?” tanyaku dalam
ketakutan yang menyeruak. Namun ia tidak menjawab, ia tetap menggerakan
pena itu. Bau darah segar dan amis itu semakin menjadi. Aku semaki
ketakutan dan sesak. Kucoba untuk bangkit membuka pintu dan keluar dari
kamar ini lalu pergi sejauh-jauhnya. Namun itu hanya khayalanku semata.
Ia berdiri lalu berbalik badan ke arahku kemudian menatapku dengan
tatapan penuh benci. Aku tak mengerti dengan semua ini terlebih tatapan
penuh kebencian itu. Aku sama sekali tak mengenalnya. Di tengah
kekalutan itu, ia mendekatiku lalu mencekik leherku. Aku memberontak,
namun percuma saja, aku tak mampu melawan. Nafasku sudah putus-putus.
“Aku akan sangat senang bila kau mati di tanganku. Hahahahaha….” ucapnya
dengan keras. Dengan sisa tenagaku, kukepalkan tangan lalu kuayukan dan
tepat mengenai pelipisnya. Dia roboh sembari mengerang kesakitan.
Dengan sisa tenagaku ini aku mencoba bangkit, meraih gagang pintu yang
ternyata tidak terkunci. Aku berjalan terseok-seok menuruni tangga.
Kulihat Bik Nur sedang berdiri ke arahku. Bukan! Bukan! Itu buka Bik
Nur, melainkan sesosok hantu wanita berpakaian serba putih. Kini aku
bagai telur di ujung tanduk.
“Ya, Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” pintaku. “Aku tak ingin mati muda.”
Tambahku. Namun, memang nasibku sedang sial. Sosok yang mencekikku tadi
kini sudah dibelakangku dan hantu wanita itu sedang menaiki tangga.
Kupejamkan mataku, aku pasrah.
Tenagaku sudah habis dan aku tergeletak begitu saja di lantai. Aku
merasakan tubuhku diseret menuju sebuah tempat yang panas, pengap,
sesak, dan penuh bau darah yang amis. Sungguh menjijikan. Kudengar jelas
kedua makhluk lain itu sedang bercakap-cakap. Yang mencekikku tadi
ternyata adalah seseorang yang kukalahkan dalam sebuah kompetisi menulis
saat itu. Ia telah membunuh 9 orang finalis termasuk dirinya sendiri,
dan sekarang adalah giliranku. Aku sadar, inilah maksud halaman kosong
di akhir buku tersebut. Ternyata ia bermaksud menuliskan kisah
pembunuhan tragis terhadapku beserta 9 finalis lainnya termasuk dirinya.
Aku memaksa mataku untuk terbuka. Aku ingin melihat dunia untuk yang
terakhir kalinya. Lalu sebuah benda menembus jantungku dan
menghentikannya berdetak seketika. Kurasakan diriku melayang ke suatu
tempat yang sejuk, pemandangannya indah. Di sana aku bertemu dengan 8
finalis lainnya. Mereka menyapaku dengan hangat seolah kami telah lama
bersama. Inikah surga? Batinku.
“Dhera….” teriak seorang wanita dari halaman rumahku yang berhasil membuyarkan lamunanku.
“Dhera, anakku….” teriak seorang lelaki di belakangnya, kemudian mereka
berdua berlari ke arahku. Aku berdiri bermaksud untuk menyambut mereka,
tapi mereka tak berhenti di depanku, melainkan masuk ke dalam rumah.
Kulihat mereka bersimpuh di depan tubuh seorang gadis sebayaku yang
tengah beristirahat berbalut kain.
“Papa, Mama, aku di sini..!” teriakku. Namun mereka tak menoleh ke
arahku, malah semakin menangisi jasad itu. Aku terheran-heran. Siapa
gerangan jasad itu? Mengapa papa dan mama begitu terlihat kehilangan?
Aku kembali ke tempat dudukku, menikmati coklat hangat dan beberapa
lembar roti tawar buatan Bik Nur ditimpali dengan sebuah surat kabar.
Pagi yang indah.
Kubuka koran yang masih terlipat itu lalu kubaca halaman pertama.
“Novel berdarah karangan seorang novelis tenar yang belum lama ini
meninggal secara misterius, dikabarkan kembali memakan korban. Dhera,
seorang siswi SMA yang juga seorang penulis, ditemukan meregang nyawa di
gudang rumahnya. Sebuah buku mirip novel berdarah ditemukan di samping
jasad korban.” Usai membaca separagraf berita itu,
“Dhera…” seorang wanita cantik bersayap memanggilku. Mengulurkan
tangannya kepadaku. Kugenggam tangan yang membawaku terbang ke langit
biru itu.
“Selamat tinggal, Ma, Pa, aku akan sangat merindukan kalian.” Ucapku sambil melambaikan tangan.
0 komentar:
Posting Komentar