MAKALAH PANCASILA
Masa
Revolusi Fisik Indonesia (1945-1950)
Disusun
Oleh:
KELOMPOK
1 :
|
PROGRAMSTUDI
ILMU KEPERAWATAN
STIKES
NGUDIA HUSADA MADURA
2016-2017
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang ………………………………………………
1.2
Rumusan
Masalah ………………………………………………
1.3
Tujuan ………………………………………………………
1.4
Manfaat
………………………………………………………
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kondisi
Masyarakat pada Awal Revolusi Fisik ……………...
2.2
Kondisi
Sosial Budaya Pada Masa Revolusi Fisik ………………..
2.3
latar
belakang berdirinya Laskar Putri Indonesia………………......
2.4
Berakhirnya
Revolusi Fisik ……………………………………….
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan
……………………………………………………..
3.2
Saran
……………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
1.1
Latar Belakang
Revolusi
fisik tahun 1945-1949 di Indonesia telah menguras tenaga seluruh rakyat
Indonesia, baik laki-laki, wanita, yang tua maupun muda semuanya turut
bahu-membahu berjuang di garis depan. Pada masa revolusi ini, tidak sedikit
kaum wanita menunjukkan kemampuannya untuk ikut berjuang bersama para
gerilyawan Republik Indonesia. Sejalan dengan pekik kemerdekaan, kaum wanita
sebagai bagian dari bangsa secara spontan memberikan sambutan dan dukungannya
dengan menyumbangkan tenaga maupun pemikiran. Waktu itu, rakyat merupakan
kekuatan utama dalam menghadapi musuh.
Revolusi
nampaknya mendorong lahirnya kelompok atau organisasi pejuang wanita,
kelompok-kelompok atau laskar-laskar wanita tersebut turut berpartisipasi aktif
dalam kancah perjuangan. Keputusan untuk mendirikan kelompok perjuangan ini
tentu merupakan langkah yang cukup berani. Melihat prespektif umum masyarakat
bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, Tugasnya hanya berkutat di dapur,
sumur, dan kasur. Bahkan untuk struktur kekerabatan dengan fungsi dan perannya
telah diatur serta dibatasi oleh adat.Satu kondisi yang seperti itulah gerak
wanita menjadi sangat terbatas, namun pada masa revolusi fisik kemampuan mereka
tidak lagi dipandang sebelah mata.
Setelah
Jepang meninggalkan Indonesia organisasi-organisasi wanita bentukan Jepang
dihapuskan dan diganti dengan organisasi bentukan pemerintah Indonesia.
Berbagai organisasi wanita bermunculan mulai dari kegiatan sosial, pendidikan,
bahkan kemiliteran. Hal tersebut didukung dengan tumbuhnya semangat revolusi
yang menggebu di hati rakyat Indonesia. Pada bidang kemiliteran kemudian banyak
berdiri kelaskaran kelaskaran wanita, sebagian besar anggotanya adalah pemudi.
Diantara laskar-laskar wanita di Indonesia terdapat Laskar Wanita Indonesia
Bandung, Laskar Pocut Baren Aceh, Laskar Muslimat Palembang, dan Laskar Putri Indonesia
Surakarta.2 Lahirnya laskar-laskar wanita tersebut membuktikan bahwa mereka
juga ingin menjadi bagian dari revolusi atau “menjadi Republikan”.
Zaman
revolusi fisik (1945-1950) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam
sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh
pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang
menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral
dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam
persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu
untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi
kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya
membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya
di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba
paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi
nasional yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama
revolusi hanya merupakan sedikit dasar sejarah (Ricklefs, 1991: 317).
Kedaulatan
dan persatuan bangsa masih harus terus diuji karena masih adanya ancaman dari
luar negeri seperti dari Belanda yang mengandalkan tentara NICA. Begitu pula
dari dalam negeri belum sepenuhnya stabil karena adanya ancaman keamanan
dimana-mana. Mengenai orang-orang Indonesia yang mendukung revolusi, maka
ditarik perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan
kekuatan-kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi dan mereka
yang menentangnya, antara generasi muda dan generasi tua, antara golongan kiri
dan golongan kanan, antara kekuatan-kekuatan islam dan kekuatan-kekkuatan
sekuler, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu gambaran mengenai suatu masa
ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa bangsa Indonesia berbentuk beraneka
ragam dan terus-menerus berubah. Sedangkan, bagi para pemimpin revolusi
Indonesia, tujuannya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan
kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana
Kondisi Masyarakat pada Awal Revolusi Fisik ?
1.2.2 Bagaimana
Kondisi Sosial Budaya Pada Masa Revolusi Fisik ?
1.2.3 Bagaimana
Latar belakang berdirinya Laskar Putri Indonesia ?
1.2.3 Bagaimana
Berakhirnya Revolusi Fisik ?
1.3
Tujuan
1.3.1 Tujuan
Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
1.3.1 Tujuan
Khusus
a. Untuk Mengetahui Kondisi
Masyarakat Pada Awal Revolusi Fisik
b. Untuk Mengetahui Kondisi Sosial
Budaya Pada Masa Revolusi Fisik
c. Untuk Mengetahui Latar Belakang
Berdirinya Laskar Putri Indonesia
d. Untuk Mengetahui Berakhirnya
Revolus Fisik
1.4
Manfaat
Dengan
tersusunnya makalah ini kita bisa mengetahui bagaimanaKondisi Masyarakat Pada
Awal Revolusi Fisik, Kondisi Sosial Budaya Pada Masa Revolusi Fisik, Latar
Belakang Berdirinya Laskar Putri Indonesia, dan Berakhirnya Revolus Fisik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kondisi Masyarakat pada Awal Revolusi Fisik
Laksamana Patterson (komandan garis
belakang Skuadron Tempur kelima Inggris) pada tanggal 29 september 1945
mengumumkan bahwa pasukan-pasukan sekutu datang untuk melindungi rakyat dan
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban hingga pemerintah Hindia Belanda yang
berwenang berfungsi kembali. Pada hari yang sama, letnan jenderal Sir Philip
Christison (panglima sekutu untuk Hindia Belanda) mengumumkan bahwa pasukan
jepang di jawa sementara harus dipakai untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Pengumuman ini segera diikuti oleh pendaratan kontinen-kontinen
kecil pasukan Belanda dibawah perlindungan Inggris (Kahin, 1995: 180).
Aktivitas pasukan Ingris yang terus
mendarat dibawah perlindungan inggris dan pengumuman-pengumuman inggris yang
kurang tegas, secara bersama-sama menunjukkan kepada kebanyakan orang
Indonesia, bahwa pernyataan tegas kemerdekaan mereka sedang ditantang dan ini
memancing reaksi mereka yang tajam. Komando sekutu memerintahkan para komandan jepang
untuk menyerang dan merebut kembali kota-kota yang sudah dikuasai orang
Indonesia, seperti Bandung. Dipakainya pasukan jepang oleh sekutu untuk melawan
republic selanjutnya mendorong orang Indonesia untuk melawan Inggris sekaligus
Belanda, dan memperkuat kecurigaan mereka bahwa Indonesia ingin dikembalikan
kepada status penjajahan (kahin, 1995: 182).
Meskipun Inggris dilengkapi dengan
pesawat-pesawat terbang dan meriam dalam pertempuran yang lama dan pahit serta
akhirnya menguasai kota, perang itu tetap dan masih dianggap suatu kemenangan
oleh orang Indonesia, karena pertempuran Surabaya adalah titik balik dalam
perjuangan kemerdekaan mereka. Ini merupakan suatu demonstrasi di hadapan
inggris tentang kekuatan berperang dan kesediaan mengorbankan jiwa raga yang
ada di balik gerakan yang sedang ditentang inggris itu (Kahin, 1995: 182).
Pertempuran di Surabaya membuka
jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan diplomatik selama tahun 1946 dan
awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia.
Sebenarnya pada masa ini adalah saat
ketiga kalinya Belanda bermaksud menaklukan Indonesia. Usaha yang pertama, pada
abad XVII dan XVIII, telah berakhir dengan penarikan mundur di pihak mereka
dalam menghadapi perlawanan bangsa Indonesia
serta ketidakcakapan mereka sendiri, dan akhirnya dengan dikalahkannya mereka
oleh pihak Inggris. Yang kedua, yaitu pada abad XIX dan awal abad abad XX,
telah berakhir dengan dikalahkannya mereka oleh pihak jepang. Dan masa ini
adalah percobaan untuk ketiga kalinya, pada masa ini masyarakat lebih bersatu
dari sebelumnya. Akan tetapi, sistem perhubungan yang buruk,
perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan
kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan suatu
kejadian yang terpotong-potong.
2.2
Kondisi Sosial Budaya Pada Masa Revolusi Fisik
Dengan mulai tibanya pihak sekutu
guna menerima penyerahan jepang, maka semakin meningkatlah
ketegangan-ketegangan di jawa dan sumatera serta mendorong orang-orang yang
sepenuh hati mendukung Republik untuk berbalik melawan. Atas nama ‘kedaulatan
rakyat’ para pemuda revolusioner mengintimidasi, menculik, dan kadang-kadang
membunuh para pejabat pemerintahan, kepala-kepala desa, dan anggota-anggota
polisi yang kesetiaannya disangsikan, atau yang dituduh melakukan korupsi,
pencatutan, atau penindasan selama pendudukan jepang. Dalam kekacauan ini
tindakan-tindakan atas nama kedaulatan kadang-kadang sulit dibedakan dari
tindakan-tindakan perampokan, perampasan, pemerasan, dan pembalasan dendam
semata. “Semangat merdeka menyala-nyala, sehingga menyebabkan mereka kurang
dapat mengendalikan diri.” (Moedjanto, 1993:100).
Surabaya menjadi ajang pertempuran
yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan
nasional. Soetomo, orang yang lebih dikenal dengan Bung Tomo meggunakan radio
setempat untuk menimbulkan suasana revolusi yang fanatik ke seluruh penjuru
kota. Di kota yang sedang bergolak ini kira-kira 6.000 pasukan inggris yang
terdiri dari serdadu-serdadu india tiba pada tanggal 2 Oktober untuk
mengungsikan para tawanan. Sekitar 2.000 TKR yang baru saja terbentuk dan
sebanyak kurang lebih 120.000 orang dari badan-badan perjuangan siap untuk
membantai prajurit-prajurit India tersebut, meskipun persenjataan mereka sangat
tidak memadai. Pada tanggal 30 oktober diadakanlah gencatan senjata. Akan
tetapi pertempuran meletus lagi dan panglima pasukan inggris setempat,
brigadier jenderal A.W.S. Mallaby terbunuh. Pada tanggal 10 November subuh,
pasukan-pasukan inggris memulai suatu aksi pembersihan berdarah sebagai hukuman
di seluruh pelosok kota di bawah lindungan pengeboman dari udara dan laut,
dalam menghadapi perlawanan Indonesia yang fanatik. Ribuan rakyat Indonesia
gugur dan ribuan lainnya meninggalkan ota yang hancur tersebut.
Pihak Republik kehilangan banyak tenaga manusia dan
senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan
tersebut telah menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi revolusi.
Banyak orang Belanda telah benar-benar merasa yakin bahwa Republik hanya
mewakili segerombolan kolaborator yang tidak mendapat dukungan rakyat. Tak seorangpun pengamat yang serius dapat
mempertahankan anggapan seperti itu. Kepercayaan kekebalan, ramalan-ramalan dan
tradisi-tradisi pribumi lain, mendalamnya ketegangan-ketegangan sosial pribumi
atau daya tarik kekerasan bagi rakyat Indonesia, membuat gagasan mengenai suatu
revolusi sosialis internasional yang akan bersifat demokratis, anti bangsawan,
dan anti fasis sulit diterapkan di Indonesia.
Keadaan di dalam Republik di Jawa
pada tahun 1948 sangat gawat. Kekuasaan republik secara efektif terdesak ke
wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat peduduknya dan kekurangan
beras, dimana penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade belanda dan
masuknya sekitar enam juta pengungsi dan tentara republik. Pemerintah Republik
mencetak lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya sehingga inflasi pun
melonjak. Akan tetapi, tindakan ini bukannya tanpa akibat-akibat yang
menguntungkan. Dengan meningkatnya inflasi dan harga beras, maka meningkat pula
penghasilan para petani dan sebagian besar hutang mereka dapat dilunasi, sementara
penghasilan para pekerja merosot.
Pada tanggal 29 Agustus 1947 secara
sepihak mereka memproklamirkan apa yang dinamakan “garis van mook”. Menurut
garis Van Mook, republik itu dibatasi hingga lebih sedikit dari sepertiga
wilayah jawa – wilayah tengah bagian timur (dikurangi pelabuhan-pelabuhan
parairan laut-dalam) dan ujung yang paling utara dari pulau itu. Separuh
Madura, dan bagian paling luas tetapi paling miskin dari Sumatera.
Garis van Mook menyingkirkan
Republik itu dari wilayah-wilayah pertanian paling subur di Jawa maupun
sumatera. Akan tetapi khusus di Jawa, situasinya sangat gawat. Wilayah yang
tetap dikuasai Republik merupakan wilayah yang kekurangan pangan dengan
produksi beras perkapita diperkirakan oleh pemerintah hanya 62,6 kuintal dibandingkan
dengan 85,9 kuintal di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Di samping itu,
daerah yang tersisa untuk republic ini didiami penduduk sejumlah 23 juta orang
yang kemudian ditambah lebih dari 700 ribu pengungsi dari daerah-daerah yang
dikuasai Belanda (Kahin, 1995: 278).
Pola makan yang berubah, pola hidup
yang berubah serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan
perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologi masyarakat. Dalam
aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang
merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam apek nonfisik, terlihat
kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional.
Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman cultural yang makin meningkat
frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di
jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh Scott disebut sebagai
“subsistence level”, yaitu tingkat pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Pemikiran
yang digunakan adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam
situasi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan
berakhir (Cahyo Budi, 1995: 192-193).
Di sumatera, terjadi
revolusi-revolusi sosial yang keras dan menentang elite-elite bangsawan. Di
aceh prmusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan
birokrat (uleebalang) mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di
tingkat elite. Banyak uleebalang yang mengharapkan kembalinya Belanda, dan
puncaknya meletuslah perang saudara. Para uleebalang gagal untuk melaksanakan
suatu perlawanan terpadu terhadap kekuatan-kekuatan pro-republik yang dipimpin
oleh para ulama. Aceh dengan ideology islam, menjadi wilayah yang paling stabil
di Indonesia selama masa revolusi.
Di sumatera timur, kelompok-kelompok
bersenjata yang sebagian besar terdiri dari orang-orang batak dan dipimpin oleh
kaum kiri, menyerang raja-raja batak pada bulan maret 1946.
Penangkapan-penangkapan dan perampokan-perampokan terhadap para raja segera
berubah menjadi pembantaian yang mengakibatkan tewasnya beratus-ratus bangsawan
sumatera Timur, diantaranya adalah Amir Hamzah. Para politisi republik setempat
serta satuan-satuan tentara setempat menentang tindak kekerasan ini, dan pada
akhir bulan April para pemimpin terkemuka revolusi sosial berdarah ini
ditangkap, tetapi sebagian dapat menyelamatkan diri dalam persembunyian.
Perpecahan-perpecahan di dalam tubuh/kekuatan-kekuatan revolusi di sumatera
timur tampak jelas dengan penindasan terhadap revolusi sosial tersebut.
Semetara itu, perpecahan di kalangan elite revolusi di jawa menjadi semakin
tegang ketika partai-partai politik terbentuk. Partai-partai yang penting pada
masa revolusi diantaranya: PKI (Partai komunis Indonesia), Pesindo (pemuda
sosialis indonesia), Masyumi, dan PNI (partai nasional Indonesia).
Semangat revolusi juga terlihat di
dalam kesusastraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah-majalah republik
bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta.
Keseluruhan suatu generasi satrawan pada umumnya dinamakan angkatan 45, yaitu
orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi.
2.3
Latar Belakang Berdirinya Laskar Putri di Indonesia
A.
Laskar Putri
Indonesia (LPI)
Lahirnya kelaskaran wanita yang turut
mewarnai sejarah bangsa,
merupakan suatu keputusan yang cukup berani. Telah kita ketahui, sejarah
menunjukkan bahwasannya kebudayaan Jawa menganggap lelaki lebih tinggi
daripada perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai the second sex yang
tercermin dalam ungkapan-ungkapan verbial yang mengunggulkan lelaki.
Ungkapan seperti swarga nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahasiaan
atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suami, adalah sebagian contoh
yang menyatakan bahwa perempuan tidak berpengaruh dalam kehidupan.1
Prespektif seperti itu, terbantahkan dengan datangnya pemikiran
modern yang dibawakan oleh seorang gadis dari Kabupaten Jepara. Gadis itu
adalah Kartini, Dia mewakili kaum perempuan yang menjadi manusia kedua
dalam kebudayaannya untuk lebih maju dan memperoleh kesempatan yang
sama seperti laki-laki. Secara kongkret apa yang dilakukan oleh Kartini
mungkin tidak banyak, namun tidak pelak lagi ia menjadi simbol dalam politik
dan perjuangan perempuan Indonesia saat ini.
Perempuan Indonesia sekarang sudah merdeka, maksudnya secara
formal perempuan diakui sama dengan lelaki, diberi kesempatan yang sama,serta tidak ada penolakan terhadap sesuatu dengan alasan seseorang adalah
perempuan.2 Organisasi-organisasi wanita berkembang dengan pesat, wanita
ingin bahwa keberadaan mereka diakui secara nyata di dalam masyarakat,
maka mereka ingin melakukan semua hal untuk memajukan kaumnya.
Pergerakan kaum wanita berkembang semakin luas, organisasi wanita tumbuh
bak jamur di musim hujan. Di masyarakat ditanamkan pengertian agar wanita
Indonesia dapat menjadi “ibu bangsa” yang berarti dapat menumbuh
kembangkan generasi yang lebih sadar akan kebangsaannya.
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 merupakan tanda
yang membangkitkan rakyat serentak, untuk membela kemerdekaan yang
telah diidam-idamkan beratus tahun yang lalu. Partisipasi wanita dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Soekarno menyatakan bahwa
wanita juga harus turut serta dalam revolusi Indonesia, dan sebaliknya kaum
laki-laki harus sadar, bahwa mereka tidak akan berhasil tanpa kaum wanita.
Soekarno menyerukan kepada lelaki agar berusaha menjadikan kaum wanita
sebagai “roda perjuangan kita yang satu lagi, benar-benar menjadi sayap
garuda nasional kita yang satu lagi”.3
Perlu diperhatikan, meskipun Soekarno berpandangan bahwa wanita
sangat diperlukan untuk revolusi, tetapi kesertaan mereka itu harus di bawah
pengawasan laki-laki, dan lebih khusus lagi oleh diri sendiri. artinya mereka harus bersama-sama berperan serta, tetapi tidak dengan pengertian sama atau
kondisi yang sama.
Terdorong oleh semangat perjuangan yang menggebu, sebagai bangsa
yang baru merdeka dan merasa terancam oleh kekuatan asing maka di kotakota besar daerah Jawa Barat seperti di Bandung, Purwakarta, Bogor,
Sukabumi, Garut, Cirebon, Tasikmalaya, Serang, dll berdirilah badan-badan
perjuangan dan laskar-laskar rakyat yang dibangun oleh masyarakat sendiri.
Adapun laskar-laskar yang dimaksudkan adalah Hizbullah, Barisan Merah
Putih, Barisan Benteng Republik Indonesia, Barisan Pemberontak Republik
Indonesia, Angkatan Pemuda Indonesia, Pasukan Istimewa, Laskar Wanita
Indonesia, Laskar Putri Indonesia, dan sebagainya.4 Setiap laskar-laskar
tersebut memiliki pimpinan dan panji-panji sendiri. Semua lapisan dan
golongan masyarakat, baik yang tua, muda, pria, maupun wanita turut serta
dalam semangat nasionalisme.
merupakan suatu keputusan yang cukup berani. Telah kita ketahui, sejarah
menunjukkan bahwasannya kebudayaan Jawa menganggap lelaki lebih tinggi
daripada perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai the second sex yang
tercermin dalam ungkapan-ungkapan verbial yang mengunggulkan lelaki.
Ungkapan seperti swarga nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahasiaan
atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suami, adalah sebagian contoh
yang menyatakan bahwa perempuan tidak berpengaruh dalam kehidupan.1
Prespektif seperti itu, terbantahkan dengan datangnya pemikiran
modern yang dibawakan oleh seorang gadis dari Kabupaten Jepara. Gadis itu
adalah Kartini, Dia mewakili kaum perempuan yang menjadi manusia kedua
dalam kebudayaannya untuk lebih maju dan memperoleh kesempatan yang
sama seperti laki-laki. Secara kongkret apa yang dilakukan oleh Kartini
mungkin tidak banyak, namun tidak pelak lagi ia menjadi simbol dalam politik
dan perjuangan perempuan Indonesia saat ini.
Perempuan Indonesia sekarang sudah merdeka, maksudnya secara
formal perempuan diakui sama dengan lelaki, diberi kesempatan yang sama,serta tidak ada penolakan terhadap sesuatu dengan alasan seseorang adalah
perempuan.2 Organisasi-organisasi wanita berkembang dengan pesat, wanita
ingin bahwa keberadaan mereka diakui secara nyata di dalam masyarakat,
maka mereka ingin melakukan semua hal untuk memajukan kaumnya.
Pergerakan kaum wanita berkembang semakin luas, organisasi wanita tumbuh
bak jamur di musim hujan. Di masyarakat ditanamkan pengertian agar wanita
Indonesia dapat menjadi “ibu bangsa” yang berarti dapat menumbuh
kembangkan generasi yang lebih sadar akan kebangsaannya.
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 merupakan tanda
yang membangkitkan rakyat serentak, untuk membela kemerdekaan yang
telah diidam-idamkan beratus tahun yang lalu. Partisipasi wanita dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Soekarno menyatakan bahwa
wanita juga harus turut serta dalam revolusi Indonesia, dan sebaliknya kaum
laki-laki harus sadar, bahwa mereka tidak akan berhasil tanpa kaum wanita.
Soekarno menyerukan kepada lelaki agar berusaha menjadikan kaum wanita
sebagai “roda perjuangan kita yang satu lagi, benar-benar menjadi sayap
garuda nasional kita yang satu lagi”.3
Perlu diperhatikan, meskipun Soekarno berpandangan bahwa wanita
sangat diperlukan untuk revolusi, tetapi kesertaan mereka itu harus di bawah
pengawasan laki-laki, dan lebih khusus lagi oleh diri sendiri. artinya mereka harus bersama-sama berperan serta, tetapi tidak dengan pengertian sama atau
kondisi yang sama.
Terdorong oleh semangat perjuangan yang menggebu, sebagai bangsa
yang baru merdeka dan merasa terancam oleh kekuatan asing maka di kotakota besar daerah Jawa Barat seperti di Bandung, Purwakarta, Bogor,
Sukabumi, Garut, Cirebon, Tasikmalaya, Serang, dll berdirilah badan-badan
perjuangan dan laskar-laskar rakyat yang dibangun oleh masyarakat sendiri.
Adapun laskar-laskar yang dimaksudkan adalah Hizbullah, Barisan Merah
Putih, Barisan Benteng Republik Indonesia, Barisan Pemberontak Republik
Indonesia, Angkatan Pemuda Indonesia, Pasukan Istimewa, Laskar Wanita
Indonesia, Laskar Putri Indonesia, dan sebagainya.4 Setiap laskar-laskar
tersebut memiliki pimpinan dan panji-panji sendiri. Semua lapisan dan
golongan masyarakat, baik yang tua, muda, pria, maupun wanita turut serta
dalam semangat nasionalisme.
2.4
Berakhirnya Revolusi Fisik di Indonesia
Dengan pengakuan kedaulatan tanggal 27 desember 1949, maka
berakhirlah masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secara de jure pihak Belanda
telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS. Namun atas kesepakatan
rakyat Indonesia tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI.
Selanjutnya pada tanggal 28 september 1950, Indonesia di terima menjadi anggota
PBB yang ke-60. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia secara resmi telah
di akui oleh dunia internasional.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Revolusi fisik
tahun 1945-1949 di Indonesia telah menguras tenaga seluruh rakyat Indonesia,
baik laki-laki, wanita, yang tua maupun muda semuanya turut bahu-membahu
berjuang di garis depan. Pada masa revolusi ini, tidak sedikit kaum wanita
menunjukkan kemampuannya untuk ikut berjuang bersama para gerilyawan Republik
Indonesia. Sejalan dengan pekik kemerdekaan, kaum wanita sebagai bagian dari
bangsa secara spontan memberikan sambutan dan dukungannya dengan menyumbangkan
tenaga maupun pemikiran. Waktu itu, rakyat merupakan kekuatan utama dalam menghadapi
musuh.
3.2
Saran
Semoga kedepannya
lebih baik lagi, setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa untuk dapat
mengetahui dan memahami materi ini.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar