MAKALAH ILMU DASAR KEPERAWATAN 3
MEMAHAMI
KONSEP VIROLOGI (DENGUE)
Disusun
Oleh:
KELOMPOK
5 :
|
PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES
NGUDIA HUSADA MADURA
2016-2017
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………. 3
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………. 4
1.3 Tujuan Masalah ……………………………………………. 5
1.4 Manfaat ……………………………………………. 5
BAB
2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Virus ……………………………………………. 6
2.2 Anatomi dan Morfologi Virus ……………………………. 6
2.3 Patogenesis dan Patologi ……………………………………. 8
2.4 Gambaran Klinis ……………………………………………. 12
2.5 Diagnosis ……………………………………………………. 13
2.6 Pengobatan dan Pencegahan ……………………………………. 13
BAB
3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………… 15
3.2 Saran …………………………………………………………… 15
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia Nya Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah MEMAHAMI KONSEP
VIROLOGI (DENGUE) ini .
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk
perbaikan makalah di masa mendatang. Dalam kesempatan ini kami juga
menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga bapak Dosen yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini
dan kepada kedua orang tua atas jerih payah dan doa yang tak
henti-hentinya.
Bangkalan, 25 Februari 2017
|
Semoga Allah SWT selalu meridhoi
kehidupankita, amin.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara. Pada
2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan hampir 80% kematian dengue
dalam daerah Asia Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558 kematian dalam
wilayah regional). Di Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang
tahun di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan
Bandung. Perbedaan pola klinis kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap tahun.
Perubahan musim secara global, pola perilaku hidup bersih dan dinamika populasi
masyarakat (adanya perang dunia, perkembangan kota yang pesat setelah perang dan
dan mudahnya transportasi) berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi virus
Dengue.
World
Health Organization memperkirakan terjadi 50 juta kasus infeksi Dengue di
seluruh dunia setiap tahun. Di Indonesia kasus pertama dengan pemeriksaan
serologis dibuktikan pada tahun 1969 di Surabaya. Angka kematian karena infeksi
virus Dengue menurun secara drastis dari 41,3% ditahun 1968 menjadi kurang dari
3% ditahun 1991, namun Sindroma Syok Dengue masih merupakan kegawatan yang
sulit diatasi. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan
berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur
penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi
serotipe virus dengue dan keadaan meteorologis.
Infeksi
virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak
spesifik (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah
dengue (DBD), dan dengue shock syndrome. Terdapat berbagai teori yang terkait
dengan patofisiologi infeksi virus Dengue seperti hipotesis (ADE), teori
virulensi virus yang mendasarkan pola perbedaan serotipe virus dengue Den-1,
Den-2, Den-3, dan Den- 4. Teori antigen-antibodi, yang mendasarkan kenyataan
bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai
dengan penurunan dari kadar C3,C4,dan C5.Teori mediator, dimana makrofag yang
terinfeksi virus Dengue akan melepaskan mediator-mediator seperti interferon,
IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lainlain. Diperkirakan berbagai mediator tersebut
bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Teori Th1/Th2 pada infeksi memperkirakan adanya faktor
genetik merupakan perkembangan teori yang menarik. Tetapi berbagai teori
tersebut masih belum mampu menjelaskan imunopatogenesis infeksi virus Dengue
ataupun membedakan dengan jelas kelompok klinis mana yang akan terjadi pada
penderita, Demam Dengue, atau Demam Berdarah Dengue atau bahkan yang lebih
fatal yaitu Sindroma Syok Dengue. Ini disebabkan kurangnya model invitro dan
invivo penyakit infeksi virus dengue.
serotipe
yang dominan di Surabaya. Studi epidemiologi (Yamanaka et al) tahun 2009 dan
2010 pada penderita Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) ditemukan
virus D1 genotype IV yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat Infeksi
dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap
serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang
lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko
karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2
mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk
urutan virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2%. Virus Dengue seperti
famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian genom RNA (single-stranded
positive-sense genome) disusun didalam satu unit protein yang dikelilingi
diding icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak.Genome virus Dengue
terdiri dari 11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C) Membran
(M) Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3,
NS4, NS4B, dan NS5). Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells)
dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di
sinusoid hepar.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarakan latar belakang
diatas, kelompok dapat mengambil rumusan masalah sebagai berikut, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Virus
Dengue?
2.
Bagaimana Anatomi dan Morfologi Virus ?
3.
Apa Patogenesis dan Patologi ?
4.
Bagaimana Gambaran Klinis ?
5.
Bagaimana Diagnosisnya?
6. Bagaimana cara Pengobatan dan
Pencegahan ?
1.3 Tujuan
Berdasarakan rumusan masalah
diatas, kelompok dapat mengambil tujuan masalah sebagai berikut, yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan
Dasar 3
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Apa yang dimaksud
Virus
2.
Untuk Mengetahui Anatomi dan Morfologi Virus
3.
Untuk Mengetahui Patogenesis dan Patologi
4.
Untuk Mengetahui Gambaran Klinis
5.
Untuk Mengetahui Diagnosisnya
6.
Untuk Mengetahui Pengobatan dan Pencegahan
1.4 Manfaat
Dapat Mengetahui dan memahami konsep proses virologi yang
meliputi anatomi dan morfologi virus, pathogenesis dan patologi, gambaran
klinis, diagnosis, pengobatan dan pencegahan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Virus
Demam dengue/DF dan demam berdarah
dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopeniadan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan
di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Suhendro, Nainggolan, Chen,
2006).
Demam dengue dan demam berdarah
dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106 . Terdapat 4
serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese
encephalitis dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).
2.2 Anatomi
dan Morfologi Virus
Protein C adalah protein pertama yang
dibentuk pada waktu translasi genom virus. Berat molekulnya kira-kira 13.500,
kaya asam amino lisin dan arginin sehingga protein C bersifat basa. Karena
sifatnya itu protein C mampu berinteraksi dengan RNA virion. Selain itu pada
ujung karboksilnya, protein C terdiri dari rangkaian asam amino hidrofobik yang
memungkinkan ia menempel pada membran sebelum dipecah oleh signalase pada ujung
protein prM. Pada akhirnya, ujung hirofobik protein C dilepas oleh enzim
protease yang dikode gen virus sesaat menjelang morfogenesis virion. Protein C
merupakan salah satu protein flavivirus yang conserved, walaupun masih kurang
conserved disbanding protein struktural lain.
Protein prM adalah glikoprotein dengan berat
molekul 22.000 dan pecah menjadi protein M dan glikoprotein lain menjelang
morfogenesis lengkap virion. Pemecahan ini tampaknya merupakan hal kritis bagi
morfogenesis karena pemecahannya diikuti segera dengan naiknya titer virus
aktif.
Protein E di dalam sel terinfeksi dapat
berada dalam bentuk heterodimer antara prM-E. Protein E berat molekulnya 51.000
– 60.000 dan dalam virion berada dalam bentuk homotrimer. Dalam rangkaian asam
aminonya, protein E mempunyai 12 gugus sistein yang membentuk enam ikatan
disulfida.
Virus merupakan organisme subselular yang
karena ukurannya sangat kecil, hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
elektron. Ukurannya lebih kecil daripada bakteri sehingga virus tidak dapat
disaring dengan penyaring bakteri. Virus terkecil berdiameter hanya 20 nm
(lebih kecil daripada ribosom), sedangkan virus terbesar sekalipun sukar
dilihat dengan mikroskop cahaya.
2.2.1 Kepala
Kepala virus berisi DNA dan bagian luarnya
diselubungi kapsid. Satu unit protein yang menyusun kapsid disebut kapsomer.
2.2.2
Kapsid
Kapsid adalah selubung yang berupa protein.
Kapsid terdiri atas kapsomer. Kapsid juga dapat terdiri atas protein monomer
yang yang terdiri dari rantai polipeptida. Fungsi kapsid untuk memberi bentuk
virus sekaligus sebagai pelindung virus dari kondisi lingkungan yang merugikan
virus.
2.2.3
Isi tubuh
Bagian isi tersusun atas asam inti, yakni DNA
saja atau RNA saja. Bagian isi disebut sebagai virion. DNA atau RNA merupakan
materi genetik yang berisi kode-kode pembawa sifat virus. Berdasarkan isi yang
dikandungnya, virus dapat dibedakan menjadi virus DNA (virus T, virus cacar)
dan virus RNA (virus influenza, HIV, H5N1). Selain itu di dalam isi virus
terdapat beberapa enzim.
2.2.4
Ekor
Ekor virus merupakan alat untuk menempel pada
inangnya. Ekor virus terdiri atas tubus bersumbat yang dilengkapi benang atau
serabut. Virus yang menginfeksi sel eukariotik tidak mempunyai ekor.
Asam nukleat genom virus dapat berupa DNA
ataupun RNA. Genom virus dapat terdiri dari DNA untai ganda, DNA untai tunggal,
RNA untai ganda, atau RNA untai tunggal. Selain itu, asam nukleat genom virus
dapat berbentuk linear tunggal atau sirkuler. Jumlah gen virus bervariasi dari
empat untuk yang terkecil sampai dengan beberapa ratus untuk yang terbesar.
Bahan genetik kebanyakan virus hewan dan manusia berupa DNA, dan pada virus
tumbuhan kebanyakan adalah RNA yang beruntai tunggal.
Bahan genetik virus diselubungi oleh suatu
lapisan pelindung. Protein yang menjadi lapisan pelindung tersebut disebut
kapsid. Bergantung pada tipe virusnya, kapsid bisa berbentuk bulat (sferik),
heliks, polihedral, atau bentuk yang lebih kompleks dan terdiri atas protein
yang disandikan oleh genom virus. Kapsid terbentuk dari banyak subunit protein
yang disebut kapsomer.
Untuk virus berbentuk heliks, protein kapsid
(biasanya disebut protein nukleokapsid) terikat langsung dengan genom virus.
Misalnya, pada virus campak, setiap protein nukleokapsid terhubung dengan enam
basa RNA membentuk heliks sepanjang sekitar 1,3 mikrometer. Komposisi kompleks
protein dan asam nukleat ini disebut nukleokapsid. Pada virus campak,
nukleokapsid ini diselubungi oleh lapisan lipid yang didapatkan dari sel inang,
dan glikoprotein yang disandikan oleh virus melekat pada selubung lipid
tersebut. Bagian-bagian ini berfungsi dalam pengikatan pada dan pemasukan ke
sel inang pada awal infeksi.
Kapsid virus sferik menyelubungi genom virus
secara keseluruhan dan tidak terlalu berikatan dengan asam nukleat seperti
virus heliks. Struktur ini bisa bervariasi dari ukuran 20 nanometer hingga 400
nanometer dan terdiri atas protein virus yang tersusun dalam bentuk simetri
ikosahedral. Jumlah protein yang dibutuhkan untuk membentuk kapsid virus sferik
ditentukan dengan koefisien T, yaitu sekitar 60t protein. Sebagai contoh, virus
hepatitis B memiliki angka T=4, butuh 240 protein untuk membentuk kapsid.
Seperti virus bentuk heliks, kapsid sebagian jenis virus sferik dapat
diselubungi lapisan lipid, namun biasanya protein kapsid sendiri langsung
terlibat dalam penginfeksian sel.
Seperti yang telah dijelaskan pada virus
campak, beberapa jenis virus memiliki unsur tambahan yang membantunya
menginfeksi inang. Virus pada hewan memiliki selubung virus, yaitu membran
menyelubungi kapsid. Selubung ini mengandung fosfolipid dan protein dari sel
inang, tetapi juga mengandung protein dan glikoprotein yang berasal dari virus.
Selain protein selubung dan protein kapsid, virus juga membawa beberapa molekul
enzim di dalam kapsidnya. Ada pula beberapa jenis bakteriofag yang memiliki
ekor protein yang melekat pada “kepala” kapsid. Serabut-serabut ekor tersebut
digunakan oleh fag untuk menempel pada suatu bakteri.
Partikel lengkap virus disebut virion. Virion
berfungsi sebagai alat transportasi gen, sedangkan komponen selubung dan kapsid
bertanggung jawab dalam mekanisme penginfeksian sel inang.
2.3 Patogenesis
dan Patologi
2.3.1
Patogenesis
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang
organ RES seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus,
sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh
monosit.
Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan
bantuan organel- organel sel genom virus akan memulai membentuk
komponen-komponen strukturalnya. setelah berkembang biak di dalam sitoplasma
sel maka virus akan dilepaskan dari sel.
Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus
dengue sulit dilakukan karena semua flavivirus memiliki epitope pada selubung
protein yang menghasilkan “cross reaction” atau reaksi silang.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas
protektif terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada “cross protektif”
terhadap serotipe virus yang lain.
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein
C (capsid), M (membran) dan E (envelope). Virus intraseluler terdiri dari
protein pre-membran atau pre- M.
Glikoprotein E merupakan epitope penting karena: mampu
membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas
hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor
binding), mempunyai fungsi fisiologis antara lain untuk fusi membran dan
perakitan virion.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4
fungsi fisiologis: netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent
Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement. Secara
invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a. Antbodi netralisasi memiliki
serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi virus.
b. Antibodi non netralising
memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam
patogenesis DBD dan DSS
Perubahan patofidiologis dalam DBD dan DSS dapat
dijelaskan oleh 2 teori yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE).
Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi
primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi
virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pada infeksi primer virus
dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus yang sama (homologous).
Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus yang
lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat.
Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi
heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG)
dengan reseptor Fc gama pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus
DEN. Kompleks antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut
akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah
terinfeksi sehingga akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet
Activating Factor”.
Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran
dinding pembuluh darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel
yang rusak, hal ini dapat berakhir dengan syok.
Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat
vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan
yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Pada bayi dan anak-anak berusia
dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN,
maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies”
sehingga sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag sehingga
mengeluarkan IL-6 dan TNF α juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan
mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan
mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE). Terdapat 3 hal yang berkontribusi
terhadap terjadinya DBD dan DSS yaitu :
a. antibodies
enhance infection
b. T-cells
enhance infection
c. serta
limfosit T dan monosit.
Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi
spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah
penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak
dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha
menjelaskan patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan
pada perbedaan keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu
daerah dengan yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada
kenyataan bahwa terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai
dengan penurunan C3, C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya pengaruh
kompleks imun pada penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun.
Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa
patogenesis DBD/DSS umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik.
Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang
berperan dalam patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS.
Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa
Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA
B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83.Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue
ini sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-γ namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-2.
Oberholzer dkk, 2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi
limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+. Demikian pula juga didapati penurunan respon
prroliferatif dari sel-sel mononuklear. Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi
peningkatan konsentrasi IFN-γ, TNF-α dan IL-10. peningkatan TNF-α berhubungan
dengan manifestasi perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan penurunan
trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi
limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting dalam
keparahan dan patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan
fungsi limfosit T dan trombosit.
Lei HY dkk, 2001 menyatakan bahwa infeksi virus dengue
akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan rasio CD4/CD8,
overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endothel dan hepatosit
yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis dan disfungsi dari sel-sel tersebut.
Demikian pula sistem koagulasi dan fibrinolisis yang ikut teraktivasi.
Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit,
karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya antibodi
antitrombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan
defisiensi koagulasi.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan akibat dari
proses kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi kemokin dan
kematian sel apoptosis. Dugaan bahwa IL-8 berperan penting dalam kebocoran
plasma dibuktikan secara invitro oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer
monosit manusia yang diinfeksi oleh virus DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan
aktifasi dari NF-kappa 8. Penelitian dari Bethel dkk (1998) terhadap anak di
vietnam dengan DBD dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL-6 dan soluble
intercelluler molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan
protein dalam sirkulasi karena kebocoran plasma.
2.3.2 Patofisiologi
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler
merupakan patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan
tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20%
meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler
yang nyata tidak terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan
hemostasis pada DBD dan DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan
kelainan koagulasi. Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan
fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.
Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral
dan seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi
primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam
darah, meningkat pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang
setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14
demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua.
Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat
ditegakkan lebih dini.
Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali
protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue
sehingga terjadi aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel
yang terinfeksi virus menjadi lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus dan
penderita sembuh dengan memiliki kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.
Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus
dengue serotipe yang berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai
super antigen setelah difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan
menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC
II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan
dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai
reaksi terhadap infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi
imunomodulator yaitu INFγ, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFNγ akan
merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNFα.Interleukin-1 (IL-1)
memiliki efek pada sel endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang
ekspresi intercelluler adhasion molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang
neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan
beradhesi dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding
endothel lisis dan endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang
akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga
endothel menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.
Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di
permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik
sehingga menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan
IFNγ dan TNFα.
2.4 Gambaran
Klinis
Infeksi virus Dengue sering kita salah didiagnosis dengan
penyakit lain seperti flu atau tifus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus
Dengue yang bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Manifestasi klinis
infeksi virus yang seringterjadi pada pasien bisa berupa demam yang tidak khas,
nyeri otot dan persendian, nyeri kepala, mual dan muntah.
Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk
bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu dan tifus. Oleh karena itu
diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus Dengue,
patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis (Hadinegoro, et al, 2006). Infeksi
virus Dengue sering salah diagnosa dengan penyakit lain seperti flu atau
tifoid. Hal ini disebabkan karena infeksi virus Dengue biasa bersifat
asimptomatik atau tidak jelas segalanya, dari tanpa gejala, demam ringan yang
tidak spesifik, DD, atau bentuk yang lebih berat yaitu DBD dan SSD (Tumbelaka,
2004).
2.5 Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang
3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala,
nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
2.6 Pengobatan
dan Pencegahan
2.6.1 Pengobatan
Tidak ada obat khusus untuk menyembuhkan Demam
Berdarah. Maka, hal yang dapat dilakukan untuk membantu kesembuhan orang
yang terkena penyakit ini adalah:
a. Berikan obat penurun panas atau
parasetamol.
b. Kompres agar panas tidak terlalu
tinggi. Kompres sebaiknya dilakukan dengan air hangat, bukan dengan air dingin
atau es. Air dingin dapat menyebabkan penderita menggigil sehingga tubuh
menjadi panas.
c. Minum air putih yang banyak.
Penderita DBD biasanya akan kekurangan cairan, maka air putih sangat baik untuk
mereka. Air putih juga dapat membantu menurunkan panas. Selain air putih, bisa
juga berikan cairan oralit untuk membantu penyembuhan.
d. Makanan yang bergizi. Sebenarnya
tidak ada pantangan makanan untuk penderita DBD. Berikan makan bergizi agar
tubuh menjadi kuat dan dapat melawan virus DBD. Buah-buahan dan sayuran dapat
sangat bermanfaat untuk pemulihan.
e. Minum air daun jambu dan angkak
dapat membantu menaikkan trombosit.
Perawatan
bisa dilakukan di rumah jika kondisi penderita tidak buruk dan diperbolehkan
oleh dokter. Tetapi, butuh ketelitian dalam merawatnya. Anda juga harus terus
berkonsultasi dengan dokter dan melakukan periksa darah setiap hari untuk
mengetahui kondisinya. Dirawat di rumah sakit dapat menjadi pilihan jika Anda
merasa hal itu lebih aman karena tindakan medis bisa segara diambil jika
kondisi pasien menurun juga dimungkinkan diberikan infus untuk menambah cairan
pasien.
Hal-hal yang membahayakan dari penyakit DBD karena
infeksi virus ini dapat menyebabkan trombosit darah turun menjadi sangat
rendah. Yang kemudian akan menyebabkan pembuluh darah menjadi kempis, cairan
bocor sehingga darah masuk ke rongga-rongga tubuh dan menyebabkan pendarahan
pada telinga, hidung, atau kulit yang dapat mengakibatkan kematian.
2.6.2 Pencegahan
Hal
yang terbaik adalah mencegah agar tidak ada anggota keluarga yang terkena DBD.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegahnya yaitu:
a.
Mencegah perkembangbiakan nyamuk ada di
sekitar kita. Anda dapat melakukan gerakan 3M yaitu Menutup tempat penyimpanan
air, Menguras bak mandi dan Mengubur barang-barang yang tidak terpakai. Larva
nyamuk akan berkembang di genangan air dalam waktu sekitar seminggu. Untuk itu,
perlu dicegah kemungkinan benda-benda yang merupakan tempat berkembangnya larva
ini seperti pot bunga, kaleng bekas, ban bekas atau barang lainnya yang
menampung genangan air, khususnya pada musim penghujan dimana tempat-tempat
tersebut dapat menjadi genangan dari air hujan yang turun.
- Cegah agar jangan digigit nyamuk, misalnya dengan cara menggunakan lotion atau obat pengusir nyamuk.
- Mennggunakan bubuk Abate pada selokan dan penampungan air agar tidak menjadi tempat bersarangnya nyamuk.
- Jaga kondisi tetap sehat. Kondisi badan yang kuat, membantu tubuh untuk menangkal virus yang masuk sehingga walau terkena gigitan nyamuk, virus tidak akan berkembang.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Patogenesis
Demam Berdarah Dengue belum dapat sepenuhnya dimengerti, dikarenakan model
penelitian in vitro dan in vivo tidak banyak tersedia untuk meneliti
perkembangan dari Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue ataupun bahkan Dengue
Shock Syndrome. Manifestasi yang berat pada Demam Berdarah Dengue dapat
dijelaskan oleh teori ADE. Bagaimanapun juga tidak semua kasus DBD bisa
dijelaskan oleh teori ADE. Perkembangan beberapa tahun terakhir yang melibatkan
peran molekuler semakin mengarah kepada keterlibatan faktor virus dalam
patogenesis DBD dan DSS. Begitu pula, tidak semua kasus DBD dapat dijelaskan
hanya dengan teori virulensi virus saja. Antibodi Dependent Enhancement,
virulensi virus dan teori-teori yang lain memiliki peran dalam tingkat keparahan
infeksi virus dengue. Sehingga dapat dikatakan bahwa patogenesis DHF memiliki
landasan yang multi faktorial.
3.2 Saran
Demikian sedikit informasi dari kelompok 5.
Tentu masih banyak sekali kekurangan yang jauh dari sempurna. Maka dari itu
kritik dan saran yang membangun masih sangat kami butuhkan demi kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi saat ini. Ucapan terima kasih layaknya pantas kami
persembahkan bagi dosen pembimbing kami dan para pembaca. Terakhir, ucapan maaf
yang sebesar – besarnya perlu kami ucapkan jika dalam penulisan ini kami banyak
melontarkan kata – kata yang kurang berkenan.
DAFTAR PUSTAKA
Soegijanto,
Soegeng. 2010. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update. Applied
Management of Dengue Viral Infection in Children. 6 November 2010. halaman
11-45.
0 komentar:
Posting Komentar