Pagi yang cerah.Terdengar Suara ombak pantai yang perlahan mulai hilang ditelan
ramainya suara kendaraan. Tirai-tirai yang menutup jendela kamarku mulai kubuka
secara perlahan. Dengan mata ini, aku melihat betapa indah birunya mutiara
surga di pagi hari. Pancaran sinar keemasan itu mengingatkanku pada suatu hal
yang tak asing, kenangan-kenangan yang begitu indah dalam hidupku.
Namaku Markawi,
aku bersekolah di SMA Harapan Bangsa yang letaknya hanya 1 Km dari rumahku.
Dulu bukan aku yang ingin bersekolah di sana, tetapi ibuku.
Dengan sifatnya yang keras ia menyuruhku bersekolah di tempat
itu, karena banyak teman-temannya yang menyekolahkan anaknya di sana. Termasuk
ibuku. Akan tetapi, Tuhan bersikap adil kepadaku. Di sekolah itulah aku
berkenalan dengan seorang gadis yang sangat istimewa. Dia bernama Munaroh
Dengan wajahnya yang cantik, dia berhasil memikat hatiku. Tubuhnya tinggi
semampai dengan rambut yang ikal dan poninya yang lucu. Entah mengapa setiap
aku menyapanya, smsan dengannya, hatiku berdegup kencang. Hingga aku
memberanikan diri untuk mengajaknya berpacaran.
“Kenapa kamu
mau pacaran sama aku?” kataku memulai pembicaraan dengan Munaroh ketika ia
menemaniku bermain basket.
“Karena aku nyaman saja duduk dekat kamu, ngobrol, bercanda, memang kenapa sih kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sama aku?”
“Nggak papa, aku cuma ingin tahu saja, memang nggak boleh?”
“Oh, gitu ya. Ya udah deh.”
“Gimana sekolah kamu, nggak ada masalah kan?” tanyaku dengan lembut.
“Nggak ada sih, cuma sebel saja banyak guru yang nggak jera ngasih tugas banyak.”
“Ya maklumlah, kita kan masih anak sekolah.”
“Iya sih.” jawabnya pendek.
“Karena aku nyaman saja duduk dekat kamu, ngobrol, bercanda, memang kenapa sih kok kamu tiba-tiba ngomong gitu sama aku?”
“Nggak papa, aku cuma ingin tahu saja, memang nggak boleh?”
“Oh, gitu ya. Ya udah deh.”
“Gimana sekolah kamu, nggak ada masalah kan?” tanyaku dengan lembut.
“Nggak ada sih, cuma sebel saja banyak guru yang nggak jera ngasih tugas banyak.”
“Ya maklumlah, kita kan masih anak sekolah.”
“Iya sih.” jawabnya pendek.
Aku sangat bersyukur memilikinya. Hari demi hari kita lewati bersama dengan
penuh rasa bahagia. Tidak ada rasa khawatir dan cemas. Dan, tidak pernah
sedikit pun terpikir olehku akan kata perpisahan. Ketika aku berpikir tentang
perpisahan, aku merasakan ada sesuatu yang membuatku cemas. Perlahan-lahan aku
ragu pada keyakinanku sendiri. Akan tetapi sekeras mungkin aku melupakannya.
Kuputuskan
untuk pergi ke rumahnya, walaupun hari sudah terbilang larut malam. Demi
perasaanku, aku memberanikan diri melewati gang yang sepi. Tepat di depan
rumahnya, telah kulihat motor yang terlihat asing bagiku. Sangat asing. Di
lamunanku itulah aku dikejutkan dengan seorang pria yang memakai jaket warna
hitam, di hadapan Munaroh.
“Maaf sayang aku pulang dulu, besok kalau ada waktu luang aku mampir ke sini lagi deh. Bye.”
“Hati-hati ya.”
Perkataan
itu adalah kata-kata yang sering kami ucapkan ketika berpamitan. Dan sekarang,
apa yang kulihat adalah bukti cintanya kepadaku. Bukti yang dia berikan kepada
siapapun yang dia sayangi. Bukti yang selalu meluluhkan hati setiap pria yang
jatuh hati padanya.
Aku terpaku
di hadapan 2 orang yang saling mencintai. Aku termenung melihat senyumnya yang
tampak manis mengembang. Aku terkikis ketika melihat pria itu mencium jidatnya.
Dia sama sepertiku.
Tanpa sadar
air mataku deras berlinang. Aku ingin pergi jauh, menyendiri. Tanpa ada seorang
kekasih yang mengajakku untuk kembali. Kekasih yang dulu membuatku bahagia.
Walaupun dia seperti itu, aku sangat menyayanginya. Aku merindukan beberapa
hari yang kita lalui bersama. Aku tidak kecewa. Aku tidak merasa tersakiti.
Karena yang kurasakan ini adalah cinta.
0 komentar:
Posting Komentar