Sabtu, 11 Oktober 2014

Misteri Kamar Berdarah






http://fc04.deviantart.net/fs71/i/2010/274/9/5/kamar_tidur_utama_by_okamiammaterasu-d2zd2k1.jpg


“Praaaaang!!!”
“Maaf…maaf…saya tidak sengaja menjatuhkannya…” Aku buru-buru membungkuk hendak membersihkan pecahan pajangan kaca yang tersenggol oleh tas selempangku. “Udah, Neng, biarin aja. Nanti biar Mamang saja yang membereskannya.” “Ini kamar utamanya…sudah dibereskan sejak tadi pagi.” .Aku mengambil kunci dari si penjaga rumah. Segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
 Penjaga rumah yang pelit bicara itupun berlalu tanpa menitip pesan apa-apa kecuali nomor telepon yang bisa dihubungi bila membutuhkan sesuatu. Setelah meletakkan beberapa barang bawaanku, aku keluar kamar. Mataku menyapu segala sudut di rumah ini dengan rasa penasaran. Rumah ini terlalu besar untuk dihuni olehku sendiri. Nuansa cat broken white memenuhi hampir seluruh dinding rumah ini. Jumlah perabotannya juga banyak.

 Sofa sudut bermotif kembang-kembang di pojok ruang tamu terlihat lusuh, dudukan busanya mulai kempis. Sebagian benang-benang kainnya terburai, seperti bekas cakaran kucing.Mataku berbalik arah, ke ruangan keluarga. Sebuah televisi berlayar datar ukuran 42 inch tergantung di dinding. Diapit oleh sebuah sound system yang lumayan besar speakernya. Sofa bed berkain semi oscar berwarna dark oak terlihat santai memandang televisi seolah bebas karena tidak ada yang menidurinya.
 Di dinding sebelah barat, ada foto seorang anak kecil dalam berbagai pose. Manis sekali wajahnya. Ah, itu pasti anak pemilik rumah ini. Aku ke ruang belakang. Ini pasti ruang makannya. Deretan kitchen set putih begitu serasi dengan lantainya yang berkeramik warna catur. Meja makan jati berkursi enam berwarna natural begitu terlihat klasik. Hey, aku melihat deretan cangkir-cangkir antik! Tanganku segera mengambilnya, ingin melihat dari dekat.“Permisi, Neng, tadi saya lupa kasih tahu, untuk makan malam hari ini, Neng bisa datang ke warung yang dekat ujung jalan itu. Istri Mamang sedang sakit, jadi belum bisa masak dulu.

”Ya ampun! Aku kaget bukan kepalang. Hampir-hampir saja cangkir antik ini lepas dari genggaman tangan saya. Ingin rasanya bilang, aduh Mang…kenapa sih datangnya tiba-tiba? Langsung muncul saja di belakangku. Suara langkah kakinya saja tidak terdengar sama sekali. Seperti hantu saja. Huh. Bapak yang aku panggil Mang Deden itu pergi lagi tanpa basa-basi. Orang yang aneh. Keluar masuk rumah ko’ yah tidak permisi dulu? Tapi sudahlahMalam merambat cepat. Keadaan rumah mendadak hening. Sepi sekali. Aku nyalakan televisi sebagai pengusir sunyi. Pada akhirnya, aku memutuskan makan malam di rumah ini saja. Dengan semangkuk mie instan rasanya sudah cukup kenyang.

Di ruang keluarga, aku membuka laptopku. Menulis. Yah, aku memang membutuhkan suatu tempat yang senyap untuk menyelesaikan tesisku. Inilah tujuan utamaku berada di sini. Jauh dari keramaian ibukota. Jauh dari kebisingan tempat tinggalku sebenarnya. Rumah ini kudapati dari info seorang kawan lama. Terletak di sebuah pedesaan. Walau di desa, tapi bangunannya sudah modern dan perabotan rumahnya lengkap, hingga aku tidak perlu repot-repot lagi mengurus semuanya. Makanpun disediakan oleh istri Mang Deden. Kata Mang Deden, rumah ini disewakan dengan isinya.

 Sang pemilik tinggal di Bandung. Datang ke sini setahun sekali. Biasanya akhir tahun. Setelah cocok, aku putuskan untuk menyewa selama satu bulan. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku matikan laptop untuk segera tidur. Suara jangkrik di luar rumah terdengar begitu nyaring. Sesekali burung hantu berkicau dengan suara khasnya. Ah, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Aku segera masuk ke dalam kamar. Melupakan semua bayangan hororku. Menghibur hati sendiri. Mungkin aku belum terbiasa. “Kak Shera…Kak Shera…” Aku terbangun dari tidur. Siapa yang panggil-panggil namaku? Ku kucek mataku, jam dinding masih menunjukan pukul dua malam. Ah, aku mimpi buruk sepertinya. “Kak Shera…Kak Shera…sini Kak…main sama aku…” Suara itu samar namun jelas terdengar di kupingku.

 Sepertinya berasal dari luar kamarku. Aku nyalakan lampu, keluar mencari sumber suara. Tapi hilang lagi sekarang. Tiba-tiba mataku berjalan ke arah sebuah kamar di dekat ruang makan. Pintunya tertutup. Tertulis di pintunya “Lisa’s Room” dari bahan kain flanel berwarna-warni.
Aku mencoba masuk, namun ternyata dikunci. Kudekatkan telingaku di daun pintunya. Hening. Tak ada suara apapun. Namun tiba-tiba…Astagfirullah!!! Dari bawah pintu aku melihat seperti darah segar mengalir ke arah luar, menyentuh kakiku. Membuat telapak kakiku seperti dilumuri darah! Rasanya dingin! Aku gemetaran. Sontak aku berlari ke kamar mandi. Segera bersihkan kakiku. Tapi…ketika di kamar mandi, kedua kakiku bersih! Tidak ada noda sama sekali! Kubolak-balik kedua kakiku. Masih sama saja. Aneh! Aku berdoa dalam hati. Mengulang-ngulang nama Tuhan tanpa berhenti. Aku tidak boleh takut. Aku bukan orang yang penakut.

Waktu kecil aku pernah mengalami hal-hal seperti ini. “Penghuni” di sini mungkin belum terbiasa dengan kehadiranku.Aku kembali ke kamar. Lanjutkan tidurku. Berusaha melupakan apa yang kualami barusan. Sepertinya aku terlalu berimajinasi. Apalagi aku sudah lelah karena perjalanan.
Seminggu sudah aku berada di sini. Kejadian di malam pertama tidak pernah terulang lagi. Semua baik-baik saja. Aku memang tidak boleh jadi orang yang penakut. Hehehe, aku tertawa kecil dalam hati. Semua pasti baik-baik saja, Shera, desir hatiku.Tapi ada yang menggangguku setiap aku melewati kamar “Lisa’s Room” itu. Rasa penasaranku yang mengganggu. Hingga akhirnya aku bertanya pada Mang Deden, si penjaga rumah.“Non Lisa anak satu-satunya pemilik rumah ini, Neng. Umurnya waktu itu masih lima tahun waktu hilang di hutan seberang desa ini…”

“Hah? Hilang? Trus, Mang?” Mang Deden yang tadinya misterius kini terlihat begitu hangat saat bertutur kata. Mungkin karena sudah tidak asing denganku. “Iya Neng, sampai sekarang sudah sepuluh tahun masih belum ketemu juga. Waktu itu babysitter yang jaga juga tidak tahu apa-apa. Sebelum Non Lisa hilang, Tuan sama Nyonya sering ribut besar. Sejak itu Non Lisa sering main ke hutan. Sepertinya Non Lisa gerah juga. Jadi tidak betah di rumah.”
“Trus, Mang?”
“Tuan sama Nyonya akhirnya sadar kalau hilangnya putri mereka mungkin akibat kesalahan mereka juga. Mereka berdamai, tetapi Non Lisa belum ditemukan juga. Mereka terlalu berduka, sampai akhirnya pindah ke Bandung setelah satu tahun tidak juga menemukan Non Lisa. Rumah ini dititipin ke Mamang. Tapi kalau ada yang mau sewa boleh, yang penting kamar Non Lisa jangan dibuka-buka. Begitu pesannya, Neng.”
“Ooh, gitu yah, Mang…”
Aku mengangguk terdiam. Kasihan keluarga ini. Pantas saja aku seperti menemukan sesuatu yang janggal di rumah ini. Aku merasa seperti ada yang…ah, aku segera menepis semua perkiraanku. Kembali fokus pada tujuanku semula. Malam ini adalah malam ke-29 aku di rumah ini. Besok aku harus siap-siap pulang. Tulisanku sudah rampung semua, tinggal diedit sedikit saja. Entah mengapa, malam ini suasananya sama persis seperti ketika pertama kali aku tinggal di sini. Suara jangkrik, burung hantu. Malah sekarang ditambah suara katak dan suara lolong anjing yang seperti menangis tersedu-sedu. Haduh, merinding lagi. Jantungku juga tiba-tiba berdegup kencang.

Sulit rasanya kupejamkan mata. Ingin cepat-cepat besok lalu pulang ke rumah. Tak sabar rasanya menunggu matahari datang. Kutenggelamkan wajahku di bawah selimut. Berharap aku lekas tertidur. “Kak Shera…Kak Shera…” Oh my God! Suara itu lagi! Aku menutup mukaku dengan bantal. Menutup kupingku dengan guling. “Kak Shera…jangan pulang Kak, temani aku main…”
Damn! Segala posisi sudah aku coba hingga memasang earphone lalu mendengar musik-musik cadas kesukaanku. Tapi suara itu…semakin nyaring terdengar hingga ke dalam hati, bukan hanya di telingaku! Aku singkirkan bantal, menyibak selimut. Lalu berjalan ke luar kamar. Jam sudah menunjukan pukul tiga dinihari. Bermodal sok berani dan rasa penasaran yang tinggi, aku keluar kamar. Let’s find something! Aku adalah Shera si pemberani. Berulang kali kucamkan dalam hati.nTiba-tiba terdengar suara anak tertawa kecil di dalam kamar “Lisa’s Room”. Aku terdiam di balik pintu. Dengan percaya diri, ku ketuk pintu perlahan. Tak ada jawaban. Aku beranikan diri untuk tidak berlari. Kupantulkan pandangan ke bawah pintu, ke telapak kakiku. Darah lagi! Darah itu mengalir di sela-sela jari kakiku. Kudiamkan saja. Kuanggap tak ada. Aku kumpulkan semua jurus keberanian untuk tidak beranjak dari tempatku berdiri. Meski gemetar lututku tak bisa kuhindari.

Tiga menit berlalu. Akhirnya, kubuka paksa pintu yang terkunci itu. Kudobrak dengan sekuat tenaga. Sambil komat-kamit menyebut nama-Nya, aku berhasil membukanya. Aku tak peduli. Aku harus tahu ada apa? Seperti ada yang menuntunku untuk masuk ke dalam. Suasana tiba-tiba senyap. Kamarnya gelap. Tetapi cahaya bulan yang terang seolah masuk melalui celah-celah jendela. Tak kudengar apa-apa lagi. Sekilas ku lihat kamar itu rapi. Terlalu rapi untuk ukuran kamar anak-anak. Mungkin karena memang tidak ditinggali. Aku nyalakan lampu. Betapa kagetnya jantungku, serasa ingin berhenti! Semua tembok yang mengelilingi kamar terlihat seperti diciprati oleh darah. Bau anyir menusuk hidungku. Tirai penutup jendela bergerak seolah ditiup angin kencang. Lantai kamar itupun penuh dengan genangan darah di mana-mana. Sekilas aku perhatikan, di atas genangan darah itu terdapat tapak-tapak seperti telapak kaki anak kecil. Mengarah ke arah jendela kamar. Suara-suara yang memanggil namaku kini kembali jelas terdengar. Aku beranikan melihat jendela yang tirainya tersibak. Seorang anak perempuan bermimik pucat dengan rambut dikuncir dua. Tersenyum ke arahku lalu melambaikan tangannya. Itu kan…itu kan…wajah anak kecil yang fotonya bertebaran di ruang keluarga rumah ini!
Aku lalu tidak ingat apa-apa. Semua gelap “Neng, bangun Neng…kenapa Neng ada di kamar Non Lisa?” Aku terbangun. Melihat sekelilingku. Kamar ini begitu bersih. Beda sekali dengan tadi malam. Tiba-tiba aku menangis sendirian. Sesenggukan. Seperti orang yang kerasukan, aku menunjuk-nunjuk jendela kamar. “Di situ…di situ…Lisa ada di situ…” Lantas aku menjerit. Kencang sekali. Aku seperti lepas kendali. “Di situuu…di situuuu…Lisa di situuuuu…” Aku terjatuh. Lalu semua gelap lagi.  “Terima kasih banyak atas bantuannya, Mbak Shera. Setelah lebih dari sepuluh tahun, akhirnya kami menemukan putri kami yang hilang, meskipun…hiks…”
“Sudahlah, Mah. Sekarang putri kita sudah tenang. Doa-doa kita selama ini sudah terjawab…” Sepasang suami istri yang kini ada dihadapanku akhirnya menguak kejadian yang kualami. Sang babysitter ternyata pelakunya.

 Dia membunuh Lisa. Dendam karena sering dimaki-maki sang majikan perempuan atas kesalahan yang tidak sengaja dibuatnya. Lisapun kerapkali membuatnya jengkel bila menangis terus ketika meminta sesuatu. Alasan yang benar-benar sepele hingga nyawa bocah tak berdosa itu melayang di tangannya. Aku mendengus. Tak habis pikir. Setan jaman sekarang sepertinya leluasa mengobok-obok iman manusia. Ataukah manusia yang membiarkan imannya diobok-obok tanpa perlawanan sedikitpun? Entahlah. Tak ingin meninggalkan jejak, akhirnya mayat Lisa ditanam persis di di taman depan dekat jendela kamar Lisa. Ia beralibi waktu mengantar main ke hutan, Lisa hilang begitu saja. Kebetulan hutan itu juga terkenal dengan keangkerannya. Banyak orang yang pernah hilang dan tak pernah kembali lagi.
Lagi-lagi aku terdiam. Menerawang. Saat kejadian pembunuhan itu berlangsung dengan mulus, ku rasa setan tengah tajamkan tanduknya lalu puas terbahak-bahak karena telah sukses menguasai nafsu manusia. Hufffft…aku bernafas lega sekaligus miris. Namun aku bersyukur bahwa secara tidak langsung aku bisa membantu keluarga mereka menemukan Lisa tanpa aku rencanakan sebelumnya. Yah, betul, tanpa direncanakan pastinya. Aku kan bukan cenayang? Malam ini, aku menginap di rumah kenalan Mama dan Papa Lisa. Tidak jauh dari TKP. Aku belum bisa kembali ke rumah karena polisi setempat masih membutuhkan keteranganku. Jam setengah dua malam aku terbangun.
 Sayup-sayup kudengar seperti ada suara perempuan menangis di atas kepalaku. Seketika keringat dingin membanjiri wajah dan telapak tanganku. Ku lihat kalender besar yang tergantung di dinding, baru kusadari bahwa malam ini adalah malam jumat. Tak lama kemudian dari langit-langit kamar seperti ada air yang menetes. Jatuh tepat di atas keningku. Aku mengusapnya dengan tangan. Begitu kulihat tanganku…ternyata itu tetesan darah.
“Shera…Shera…tolong saya…”
Waduh. Apalagi sekarang???


0 komentar:

Posting Komentar