“Praaaaang!!!”
“Maaf…maaf…saya tidak sengaja menjatuhkannya…” Aku buru-buru membungkuk
hendak membersihkan pecahan pajangan kaca yang tersenggol oleh tas selempangku.
“Udah, Neng, biarin aja. Nanti biar Mamang saja yang membereskannya.” “Ini
kamar utamanya…sudah dibereskan sejak tadi pagi.” .Aku mengambil kunci dari si
penjaga rumah. Segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
Penjaga rumah yang pelit bicara
itupun berlalu tanpa menitip pesan apa-apa kecuali nomor telepon yang bisa dihubungi
bila membutuhkan sesuatu. Setelah meletakkan beberapa barang bawaanku, aku
keluar kamar. Mataku menyapu segala sudut di rumah ini dengan rasa penasaran. Rumah
ini terlalu besar untuk dihuni olehku sendiri. Nuansa cat broken white memenuhi
hampir seluruh dinding rumah ini. Jumlah perabotannya juga banyak.
Sofa sudut bermotif kembang-kembang
di pojok ruang tamu terlihat lusuh, dudukan busanya mulai kempis. Sebagian
benang-benang kainnya terburai, seperti bekas cakaran kucing.Mataku berbalik
arah, ke ruangan keluarga. Sebuah televisi berlayar datar ukuran 42 inch
tergantung di dinding. Diapit oleh sebuah sound system yang lumayan besar
speakernya. Sofa bed berkain semi oscar berwarna dark oak terlihat santai
memandang televisi seolah bebas karena tidak ada yang menidurinya.
Di dinding sebelah barat, ada foto
seorang anak kecil dalam berbagai pose. Manis sekali wajahnya. Ah, itu pasti
anak pemilik rumah ini. Aku ke ruang belakang. Ini pasti ruang makannya.
Deretan kitchen set putih begitu serasi dengan lantainya yang berkeramik warna
catur. Meja makan jati berkursi enam berwarna natural begitu terlihat klasik.
Hey, aku melihat deretan cangkir-cangkir antik! Tanganku segera mengambilnya,
ingin melihat dari dekat.“Permisi, Neng, tadi saya lupa kasih tahu, untuk makan
malam hari ini, Neng bisa datang ke warung yang dekat ujung jalan itu. Istri
Mamang sedang sakit, jadi belum bisa masak dulu.
”Ya ampun! Aku kaget bukan kepalang. Hampir-hampir saja cangkir antik ini
lepas dari genggaman tangan saya. Ingin rasanya bilang, aduh Mang…kenapa sih
datangnya tiba-tiba? Langsung muncul saja di belakangku. Suara langkah kakinya
saja tidak terdengar sama sekali. Seperti hantu saja. Huh. Bapak yang aku
panggil Mang Deden itu pergi lagi tanpa basa-basi. Orang yang aneh. Keluar
masuk rumah ko’ yah tidak permisi dulu? Tapi sudahlahMalam merambat cepat.
Keadaan rumah mendadak hening. Sepi sekali. Aku nyalakan televisi sebagai
pengusir sunyi. Pada akhirnya, aku memutuskan makan malam di rumah ini saja. Dengan
semangkuk mie instan rasanya sudah cukup kenyang.
Di ruang keluarga, aku membuka
laptopku. Menulis. Yah, aku memang membutuhkan suatu tempat yang senyap untuk
menyelesaikan tesisku. Inilah tujuan utamaku berada di sini. Jauh dari
keramaian ibukota. Jauh dari kebisingan tempat tinggalku sebenarnya. Rumah ini
kudapati dari info seorang kawan lama. Terletak di sebuah pedesaan. Walau di
desa, tapi bangunannya sudah modern dan perabotan rumahnya lengkap, hingga aku
tidak perlu repot-repot lagi mengurus semuanya. Makanpun disediakan oleh istri
Mang Deden. Kata Mang Deden, rumah ini disewakan dengan isinya.
Sang pemilik tinggal di
Bandung. Datang ke sini setahun sekali. Biasanya akhir tahun. Setelah cocok,
aku putuskan untuk menyewa selama satu bulan. Waktu sudah menunjukkan pukul dua
belas malam. Aku matikan laptop untuk segera tidur. Suara jangkrik di luar
rumah terdengar begitu nyaring. Sesekali burung hantu berkicau dengan suara
khasnya. Ah, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Aku segera masuk ke dalam kamar.
Melupakan semua bayangan hororku. Menghibur hati sendiri. Mungkin aku belum
terbiasa. “Kak Shera…Kak Shera…” Aku terbangun dari tidur. Siapa yang panggil-panggil namaku? Ku kucek
mataku, jam dinding masih menunjukan pukul dua malam. Ah, aku mimpi buruk
sepertinya. “Kak Shera…Kak Shera…sini Kak…main sama aku…” Suara itu samar namun
jelas terdengar di kupingku.
Sepertinya berasal dari luar kamarku. Aku nyalakan
lampu, keluar mencari sumber suara. Tapi hilang lagi sekarang. Tiba-tiba mataku
berjalan ke arah sebuah kamar di dekat ruang makan. Pintunya tertutup. Tertulis
di pintunya “Lisa’s Room” dari bahan kain flanel berwarna-warni.
Aku mencoba masuk, namun ternyata dikunci. Kudekatkan telingaku di daun
pintunya. Hening. Tak ada suara apapun. Namun tiba-tiba…Astagfirullah!!! Dari
bawah pintu aku melihat seperti darah segar mengalir ke arah luar, menyentuh
kakiku. Membuat telapak kakiku seperti dilumuri darah! Rasanya dingin! Aku
gemetaran. Sontak aku berlari ke kamar mandi. Segera bersihkan kakiku.
Tapi…ketika di kamar mandi, kedua kakiku bersih! Tidak ada noda sama sekali!
Kubolak-balik kedua kakiku. Masih sama saja. Aneh! Aku berdoa dalam hati. Mengulang-ngulang nama Tuhan tanpa berhenti. Aku
tidak boleh takut. Aku bukan orang yang penakut.
Waktu kecil aku pernah
mengalami hal-hal seperti ini. “Penghuni” di sini mungkin belum terbiasa dengan
kehadiranku.Aku kembali ke kamar. Lanjutkan tidurku. Berusaha melupakan apa
yang kualami barusan. Sepertinya aku terlalu berimajinasi. Apalagi aku sudah
lelah karena perjalanan.
Seminggu sudah aku berada di sini. Kejadian di malam pertama tidak pernah
terulang lagi. Semua baik-baik saja. Aku memang tidak boleh jadi orang yang
penakut. Hehehe, aku tertawa kecil dalam hati. Semua pasti baik-baik saja,
Shera, desir hatiku.Tapi ada yang menggangguku setiap aku melewati kamar
“Lisa’s Room” itu. Rasa penasaranku yang mengganggu. Hingga akhirnya aku
bertanya pada Mang Deden, si penjaga rumah.“Non Lisa anak satu-satunya pemilik
rumah ini, Neng. Umurnya waktu itu masih lima tahun waktu hilang di hutan
seberang desa ini…”
“Hah? Hilang? Trus, Mang?” Mang Deden yang tadinya misterius kini terlihat
begitu hangat saat bertutur kata. Mungkin karena sudah tidak asing denganku. “Iya
Neng, sampai sekarang sudah sepuluh tahun masih belum ketemu juga. Waktu itu
babysitter yang jaga juga tidak tahu apa-apa. Sebelum Non Lisa hilang, Tuan
sama Nyonya sering ribut besar. Sejak itu Non Lisa sering main ke hutan.
Sepertinya Non Lisa gerah juga. Jadi tidak betah di rumah.”
“Trus, Mang?”
“Tuan sama Nyonya akhirnya sadar kalau hilangnya putri mereka mungkin akibat
kesalahan mereka juga. Mereka berdamai, tetapi Non Lisa belum ditemukan juga.
Mereka terlalu berduka, sampai akhirnya pindah ke Bandung setelah satu tahun
tidak juga menemukan Non Lisa. Rumah ini dititipin ke Mamang. Tapi kalau ada
yang mau sewa boleh, yang penting kamar Non Lisa jangan dibuka-buka. Begitu
pesannya, Neng.”
“Ooh, gitu yah, Mang…”
Aku mengangguk terdiam. Kasihan keluarga ini. Pantas saja aku seperti
menemukan sesuatu yang janggal di rumah ini. Aku merasa seperti ada yang…ah,
aku segera menepis semua perkiraanku. Kembali fokus pada tujuanku semula. Malam
ini adalah malam ke-29 aku di rumah ini. Besok aku harus siap-siap pulang.
Tulisanku sudah rampung semua, tinggal diedit sedikit saja. Entah mengapa,
malam ini suasananya sama persis seperti ketika pertama kali aku tinggal di
sini. Suara jangkrik, burung hantu. Malah sekarang ditambah suara katak dan
suara lolong anjing yang seperti menangis tersedu-sedu. Haduh, merinding lagi.
Jantungku juga tiba-tiba berdegup kencang.
Sulit rasanya kupejamkan mata. Ingin cepat-cepat besok lalu pulang ke rumah.
Tak sabar rasanya menunggu matahari datang. Kutenggelamkan wajahku di bawah
selimut. Berharap aku lekas tertidur. “Kak Shera…Kak Shera…” Oh my God! Suara
itu lagi! Aku menutup mukaku dengan bantal. Menutup kupingku dengan guling. “Kak
Shera…jangan pulang Kak, temani aku main…”
Damn! Segala posisi sudah aku coba hingga memasang earphone lalu mendengar
musik-musik cadas kesukaanku. Tapi suara itu…semakin nyaring terdengar hingga
ke dalam hati, bukan hanya di telingaku! Aku singkirkan bantal, menyibak
selimut. Lalu berjalan ke luar kamar. Jam sudah menunjukan pukul tiga dinihari.
Bermodal sok berani dan rasa penasaran yang tinggi, aku keluar kamar. Let’s
find something! Aku adalah Shera si pemberani. Berulang kali kucamkan dalam
hati.nTiba-tiba terdengar suara anak tertawa kecil di dalam kamar “Lisa’s
Room”. Aku terdiam di balik pintu. Dengan percaya diri, ku ketuk pintu
perlahan. Tak ada jawaban. Aku beranikan diri untuk tidak berlari. Kupantulkan
pandangan ke bawah pintu, ke telapak kakiku. Darah lagi! Darah itu mengalir di
sela-sela jari kakiku. Kudiamkan saja. Kuanggap tak ada. Aku kumpulkan semua
jurus keberanian untuk tidak beranjak dari tempatku berdiri. Meski gemetar
lututku tak bisa kuhindari.
Tiga menit berlalu. Akhirnya, kubuka paksa pintu yang terkunci itu. Kudobrak
dengan sekuat tenaga. Sambil komat-kamit menyebut nama-Nya, aku berhasil
membukanya. Aku tak peduli. Aku harus tahu ada apa? Seperti ada yang menuntunku
untuk masuk ke dalam. Suasana tiba-tiba senyap. Kamarnya gelap. Tetapi cahaya
bulan yang terang seolah masuk melalui celah-celah jendela. Tak kudengar
apa-apa lagi. Sekilas ku lihat kamar itu rapi. Terlalu rapi untuk ukuran kamar
anak-anak. Mungkin karena memang tidak ditinggali. Aku nyalakan lampu. Betapa
kagetnya jantungku, serasa ingin berhenti! Semua tembok yang mengelilingi kamar
terlihat seperti diciprati oleh darah. Bau anyir menusuk hidungku. Tirai
penutup jendela bergerak seolah ditiup angin kencang. Lantai kamar itupun penuh
dengan genangan darah di mana-mana. Sekilas aku perhatikan, di atas genangan
darah itu terdapat tapak-tapak seperti telapak kaki anak kecil. Mengarah ke
arah jendela kamar. Suara-suara yang memanggil namaku kini kembali jelas
terdengar. Aku beranikan melihat jendela yang tirainya tersibak. Seorang anak
perempuan bermimik pucat dengan rambut dikuncir dua. Tersenyum ke arahku lalu
melambaikan tangannya. Itu kan…itu kan…wajah anak kecil yang fotonya bertebaran
di ruang keluarga rumah ini!
Aku lalu tidak ingat apa-apa. Semua gelap “Neng, bangun Neng…kenapa Neng ada
di kamar Non Lisa?” Aku terbangun. Melihat sekelilingku. Kamar ini begitu
bersih. Beda sekali dengan tadi malam. Tiba-tiba aku menangis sendirian.
Sesenggukan. Seperti orang yang kerasukan, aku menunjuk-nunjuk jendela kamar. “Di
situ…di situ…Lisa ada di situ…” Lantas aku menjerit. Kencang sekali. Aku
seperti lepas kendali. “Di situuu…di situuuu…Lisa di situuuuu…” Aku terjatuh.
Lalu semua gelap lagi. “Terima kasih
banyak atas bantuannya, Mbak Shera. Setelah lebih dari sepuluh tahun, akhirnya
kami menemukan putri kami yang hilang, meskipun…hiks…”
“Sudahlah, Mah. Sekarang putri kita sudah tenang. Doa-doa kita selama ini
sudah terjawab…” Sepasang suami istri yang kini ada dihadapanku akhirnya
menguak kejadian yang kualami. Sang babysitter ternyata pelakunya.
Dia membunuh
Lisa. Dendam karena sering dimaki-maki sang majikan perempuan atas kesalahan
yang tidak sengaja dibuatnya. Lisapun kerapkali membuatnya jengkel bila
menangis terus ketika meminta sesuatu. Alasan yang benar-benar sepele hingga
nyawa bocah tak berdosa itu melayang di tangannya. Aku mendengus. Tak habis
pikir. Setan jaman sekarang sepertinya leluasa mengobok-obok iman manusia.
Ataukah manusia yang membiarkan imannya diobok-obok tanpa perlawanan
sedikitpun? Entahlah. Tak ingin meninggalkan jejak, akhirnya mayat Lisa ditanam
persis di di taman depan dekat jendela kamar Lisa. Ia beralibi waktu mengantar
main ke hutan, Lisa hilang begitu saja. Kebetulan hutan itu juga terkenal
dengan keangkerannya. Banyak orang yang pernah hilang dan tak pernah kembali
lagi.
Lagi-lagi aku terdiam. Menerawang. Saat kejadian pembunuhan itu berlangsung
dengan mulus, ku rasa setan tengah tajamkan tanduknya lalu puas terbahak-bahak
karena telah sukses menguasai nafsu manusia. Hufffft…aku bernafas lega
sekaligus miris. Namun aku bersyukur bahwa secara tidak langsung aku bisa
membantu keluarga mereka menemukan Lisa tanpa aku rencanakan sebelumnya. Yah,
betul, tanpa direncanakan pastinya. Aku kan bukan cenayang? Malam ini, aku
menginap di rumah kenalan Mama dan Papa Lisa. Tidak jauh dari TKP. Aku belum
bisa kembali ke rumah karena polisi setempat masih membutuhkan keteranganku. Jam
setengah dua malam aku terbangun.
Sayup-sayup kudengar seperti ada
suara perempuan menangis di atas kepalaku. Seketika keringat dingin membanjiri
wajah dan telapak tanganku. Ku lihat kalender besar yang tergantung di dinding,
baru kusadari bahwa malam ini adalah malam jumat. Tak lama kemudian dari
langit-langit kamar seperti ada air yang menetes. Jatuh tepat di atas keningku.
Aku mengusapnya dengan tangan. Begitu kulihat tanganku…ternyata itu tetesan
darah.
“Shera…Shera…tolong saya…”
Waduh. Apalagi sekarang???
0 komentar:
Posting Komentar